among us

Sunday 24 February 2013

Kereta

Ini bukan bermaksud menyinggung salah satu pihak, hanya ungkapan yang saya rasakan saat berbicara dan bertemu dengan banyak orang, dari seluruh wilayah Nusantara.

"Emang loe gak naik kereta ke Senen? "

"Eh, kau bawak kereta siapa ke sini?"

"Tak payah la.... saya selalu bawa kereta ke pejabat"

Tiga dialog di atas menunjukkan persamaan pada satu kata : "kereta". Permasalahan akan timbul jika si penanya dan yang ditanya kurang wawasan atau memang tidak pernah bergaul dengan banyak orang (bukannya sombong nih.....). Dalam dialog 1 , adalah kalimat yang digunakan sebagian besar penduduk Jakarta. Kereta di sana merujuk kepada kereta api (train), yang entah mengapa disingkat menjadi kereta saja ( entah karena sekarang sudah tidak ada "api" nya lagi, atau memang supaya cepat diucapkan....). 

Dialog 2 menunjukkan percakapan dilakukan antar orang yang ada di Medan. Kereta di percakapan di atas merujuk kepada sepeda motor (Jkt) atau motosikal (Mal). Pertanyaan yang buat bingung adalah, kenapa orang Medan punya variasi sendiri terhadap rujukan benda yang bernama "kereta" ini ? Entahlah, saya juga tidak tahu......

Dialog 3 adalah perkataan umum di Malaysia ( Semenanjung), di mana kereta di sana bermaksud mobil (Jkt) atau motor (Mdn). Jadi, jika tiga orang tadi saling berkumpul, dan tidak pernah terpapar atau tahu soal aturan "perkeretaan" di setiap wilayah berbeda, pembicaraan bisa saling tidak nyambung dan saling bingung. Saya sendiri waktu kuliah, sering tanya dulu kepada teman saya yang asal Medan juga kalau dia bilang datang naik kereta, " Ini kereta versi mana? versi Medan atau Jakarta? "

Contoh di atas adalah contoh kecil perbedaan bahasa. Kadang, saya suka tertawa sendiri melihat banyak orang Jakarta "mempermainkan" bahkan mengolok bahasa Melayu (di Malaysia) yang mereka anggap lucu. Buat saya, itu adalah contoh betapa kerdilnya dan kurang wawasannya sang pengolok tersebut, karena dia tidak tahu kalau bahasa Melayu juga dipakai di Sumatera. Dan saya, sebagai orang yang pernah "terpapar" tiga jenis pembicaraan di atas merasa, biasa saja. Tak ada kesulitan berarti saat rekan saya dari Jakarta datang dan ngobrol sementara saya juga meladeni teman dari Malaysia berbicara, di saat bersamaan. Otak saya tidak pernah bingung dan salah memberikan perintah ucapan seandainya saya bertemu orang Jakarta atau orang Malaysia di saat bersamaan.

Masalah ini timbul, akibat kebanyakan media kita yang terlalu Jakarta-sentris. seolah-olah menganggap bahasa selain logat Jakarta adalah aneh. Padahal, di Indonesia Raya ini, dengan ratusan suku dan sub-suku, perbedaan bahasa bukan suatu hal yang lucu. Saya suka sedih ada yang mengolok-olok bahasa Melayu di Malaysia dengan tidak benar, sambil bertanya sendiri , " Pernahkah mereka semua ini jalan-jalan ke daerah lain? tidak tahukah mereka bahasa yang mereka olok juga digunakan di Sumatera? ". Makanya, saya suka sinis terhadap pihak-pihak, entah dimanapun itu yang mengolok bahasa satu sama lain. Ingin rasanya, saya tunjukkan Kamus Dewan (Mal) atau Kamus Besar Bahasa Indonesia langsung ke muka nya untuk menunjukkan kata yang dimaksud ada dan wujud, bukan bahan tertawaan.

Di akhir kata, ada satu peristiwa yang saya ingat semasa saya kuliah dulu. Sepupu saya yang masih SD dulu sering pulang kampung ke rumah neneknya di Asahan (ibunya orang Melayu Asahan-red) untuk liburan selama libur sekolah. Karena sepupunya semua berbicara dengan logat Melayu Asahan, maka secara otomatis dia jadi terikut gaya bicara Melayu. Ketika pulang ke Jakarta, dan saat bermain bersama temannya, ternyata default bahasanya masih sama. Lantas, apa kata teman-temannya? "Ih......kamu kok ngomongnya kayak Upin Ipin?" ..............

Wednesday 20 February 2013

Berwisata di Medan Metropolitan

Masjid Raya Al-Mashun


Penegasan di kata "metropolitan", karena kata ini selalu didengungkan dan disebut-sebut selalu oleh pejabat Kotamadya Medan tercinta merujuk kepada cita-cita ke depannya. Entahlah, metropolitan yang bagaimana yang dimaksud. Namun setidaknya saya berharap tidak mencontoh metropolitannya Jakarta, soalnya bisa-bisa macet, cet, dimana-mana (yang sekarang aja udah macet.....) dan persoalan lain.

Oke, balik ke tema. Selalunya, teman-teman sering tanya ke saya, "Apa aja tempat wisata di Medan, selain Istana Maimoon dan Masjid Raya?". Dan selalunya juga saya jawab, " Entah, aku pun nggak tau apalagi yang ada di Medan, kayaknya kekurangan tempat wisata itu kota." Walaupun kota Medan multietnis (yang terdiri dari orang Jawa, Batak, Melayu, Banjar, Tionghoa, Tamil bahkan etnis Tionghoa lebih banyak daripada etnis tuan rumah, etnis Melayu) namun tempat wisata yang berbau seni dan budaya nyaris tak ada. Sayangnya, pemerintah juga lebih sibuk membangun mall-mall dan menyulap tanah kosong jadi ruko-ruko dibanding memugar dan merenovasi bangunan tua. 

Banyak juga yang salah sangka soal Danau Toba dan Berastagi. Akibat informasi yang kurang tepat, atau mungkin memang tidak searching dulu, banyak yang menganggap itu ada di Medan. Mirip majas sinekdoke parsprototo (hmm....serasa balik ke zaman sekolah....), semua yang belum pernah ke Medan dan Sumatera Utara menganggap sama : Medan adalah Sumatera Utara dan Sumatera Utara adalah Medan (Ini mirip slogan Three Musketeers : One for All, All for one ). Akibatnya, sewaktu mereka menempuh perjalanan ke Danau Toba via Medan......hhmmm.....berasa deh itu panasnya bokong dan pegalnya punggung.

Balik ke kota Medan Metropolitan (kata "metropolitan"-nya jangan sampe ilang.....), tidak banyak tempat yang bisa saya tawarkan. Sebenarnya, ada wilayah "pecinan" dan "kota Tua" yang ada di Kesawan, sayangnya kurang terasa nuansanya karena sudah dijadikan area bisnis. sebagian Lapangan Merdeka bakal disulap jadi tempat parkir CAT (City Airport Terminal, proyek kereta api yang menghubungkan ke Bandara Kualanamu)  dan sebagian lagi sudah jadi tempat makan-makan alias Merdeka Walk. Nah, kalau soal makan-makan, ada beberapa tempat yang boleh dikunjungi.

Orang hanya tau oleh-oleh khas Medan adalah Bika Ambon dan Bolu Meranti. Padahal.....sebenarnya hanya Bika Ambon yang asli kue di sini, Bolu Meranti sih, baru ada beberapa tahun terakhir. Hal lainnya, banyak yang pesan durian Medan. Well, bagi saya yang bukan ahli dunia perdurianan, rasanya sama aja sama durian lain. Tapi kata teman saya, yang mungkin ahli cita rasa durian, durian Medan enak....banget...(???). Entahlah, mungkin subyektif, tapi begitu kebanyakan yang bilang. Banyak juga tempat nongkrong di seantero Medan, mulai dari pinggir jalan sampai restoran, mulai dari jualan TST (Teh Susu Telur), bandrek sampai minuman beralkohol. Kalau soal tempat nongkrong ini ada dua tempat yang lumayan terkenal : Warkop (Warung Kopi) sekitar sekolah Harapan dan Warkop sekitar Halat-Stadion Teladan. Dan yang terakhir....entah kenapa banyak banget warung ayam penyet di sini...mungkin warga Medan anggap unik kali makanan begitu.

Sebagai penutup, saya akan tampilkan salah satu makanan yang saya cari dulu kalau pulang ke Medan, yaitu sate kerang Tanjung Balai, bukan terbuat dari kerang hijau, tapi dari kerang bulu (sebagian bilang kerang darah). Entah mengapa disebut begitu, mungkin pertama kali ditemukan orang Tanjung Balai. Selamat berlibur di Medan !

Sate Kerang Tanjung Balai



Monday 18 February 2013

Dimana Enaknya Jalan-Jalan ?

Bagi sebagian orang, kegiatan jalan-jalan adalah salah satu kegiatan menghilangkan stress. Bagi yang lain, ada yang menganggap kelakuan ini hanya buang-buang uang. Serius lho, temas se-kost-an saya dulu menganggap jalan-jalan sebagai kegiatan yang "tak berguna" dan "buang-buang uang". Jadi, sepanjang masa kuliah, nggak banyak tempat yang dia kunjungi selain ke kampus dan ke Mangga Dua buat beli laptop dan servisnya.

Sebaliknya, ada teman saya yang lain justru kuat banget jalan-jalan kelayapan ke mana-mana, sampai pernah tercetus ide gila pergi ke Yogyakarta jam 8 pagi, dan dia mengajak saya jam 5 pagi! Alasannya, "Aku udah beli tiket dua, kita pergi sama-sama ke Yogya, kalo nggak kau harus ganti tiketnya!". Ebuset, nih orang bukannya ngajak dari jauh hari malah dadakan. Jadilah pagi itu serba dadakan, pakai acara sakit perut segala sehingga di tengah jalan ke terminal mesti berhenti cari toilet dan nyaris terlambat. Ternyata bus nya belum berangkat karena nungguin saya. Hehehe...maaf....

Buat saya, liburan bukan termasuk kegiatan buang-buang uang. Dengan menjelajah daerah baru, setidaknya kita bisa mengetahui adat setempat dan jadi lebih toleran terhadap perbedaan, tidak mudah skeptis dan lebih fleksibel terhadap berbagai orang. Liburan, terutama ala backpacker melatih banyak hal : komunikasi, sosial, ketepatan waktu dan pengendalian emosi. Jadi buat saya, banyak hal yang menarik yang  bisa didapat dari jalan-jalan.

Ada yang menganggap  adalah klimaks dari acara jalan-jalan, soalnya bisa lihat pemandangan. Ada yang bilang pra keberangkatan adalah masa yang paling asyik, karena masa itu kita lagi semangat buat searching tempat wisata, penginapan, dan lain-lain. Ada juga yang bilang, pas di tempat tujuannya justru jadi puncak kesenangan jalan-jalan. Sebenarnya sih, menurut saya relatif banget.

Kalau seandainya kita pergi ke tempat yang rutin dijalani, misalnya pulang kampung dalam jangka waktu dekat, hampir gak ada menariknya. Udah tau pemandangannya gimana, kota-kota yang dilewati apa aja, bahkan sampe hapal tipe bus yang kesana dan jalan-jalan di tempat tujuan. Namun, jadi beda kalau misalnya kita pulang kampung dengan rute yang beda. Nah, ini jadi menarik sepanjang perjalanan, tapi antiklimaks kalau udah nyampe.

Pergi ke tempat yang baru, benar-benar belum pernah dikunjungi, euforianya bisa dimulai dari awal sampai akhir, dan antiklimaksnya saat ajalan pulang. Sedih, karena harus balik ke dunia nyata yang kejam *mode sinetron*.Sedih karena harus menjalani rutinitas lagi....sedih karena ada "gap", badan di dunia sekarang sedangkan pikiran masih mode liburan.

Jadi, dimana enaknya jalan-jalan? Well, itu semua juga tergantung tempat tujuan, cara mencapai dan emosi kita saat itu. Percuma aja kita jalan ke tempat yang benar-benar baru tapi dalam keadaan gondok dan kesal. Begitupun ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap tempat tujuan, bisa menurunkan semangat berlibur. Nikmati aja semua prosesnya, dan begitu selesai liburan.........segera buat rencana baru untuk menggairahkan hidup lagi, hehehe....

Catatan : saran di atas bukan untuk orang yang menganggap liburan itu buang-buang waktu dan tak berguna :)

Tuesday 12 February 2013

Serba - Serbi Maskapai Penerbangan

Catatan : Ini cuma pandangan subyektif dan pribadi penulis, bukan sebagai acuan secara umum.


Penerbangan adalah salah satu transportasi yang penting belakangan. Bayangkan, sejak pagi buta sampai larut malam, bandara selalu penuh penumpang dan penerbangan ke berbagai tujuan mulai dari penerbangan domestik hingga internasional. Nah, kali ini saya coba bahas beberapa perusahaan penerbangan yang pernah saya naiki yang semuanya budget airlines (soalnya, cuma itu yang mampu.....)

1. AirAsia


Dulu, pertama kali pesawat yang saya naiki adalah pesawat dari maskapai ini. Sudah jelas, maskapai ini yang paling sering gelar promo secara terang-terangan ke berbagai tujuan. Sisi baiknya adalah, dengan tiket murah dan terjangkau, semua orang bisa naik pesawat dan pergi kemana-mana. Sisi negatifnya, karena nomor kursi, bagasi dan makanan semuanya harus pesan, jika kita ikut paket yang umum (bagasi 20kg, misalnya) malah jadinya sama aja tarifnya sama penerbangan lain. Belum lagi kalau misalnya gak pesan nomor tempat duduk, begitu pintu kapal terbang dibuka...1....2.....3.....dan....bruakkk, langsung deh menyebar semua orang nyari tempat duduk dan rebut-rebutan bagasi. Nah, buat yang cuma bawa ransel dan nggak mau ribet plus mau yang murah, penerbangan ini cocok.

2. Citilink


Anak perusahaan Garuda Indonesia ini dulu saya ketahui dari tante yang pulang kampung pakai penerbangan ini. Nah....dengan harga tiket yang kompetitif plus pesawat yang saya naiki sejauh ini yang paling nyaman dan lapang buat budget airlines, penerbangan ini cocok buat yang bawa keluarga. Load factor pesawat ini juga sejauh yang saya naiki, selalunya sekitar 60-100%, entah karena orang belum tau atau memang kurang promosi. Pramugari dan pramugaranya juga punya seragam yang beda, kelihatan lebih muda dan dinamis...(terutama pramugarinya....hehehe......) dengan setelan baju kaos dan celana training. Kekurangannya, rutenya masih terbatas, jadi mesti cek dulu kalau mau berangkat apakah tujuan kita termasuk dalam rute maskapai ini.

3. Lion Air

Well....inilah penerbangan yang paling banyak jadwal terbangnya dari kota halaman (bukan kampung halaman) saya ke Jakarta. Mulai dari jam 5 pagi sampe menjelang tengah malam, kurang lebih ada 20 kali lebih perjalanan Medan-Jakarta dilayani penerbangan ini. Pokoknya, pesawat sejuta ummat deh......saya udah pernah duduk di berbagai posisi di penerbangan ini : dekat kamar mandi yang kursinya tegak lurus, dekat sayap dan mesin turbo yang bikin telinga dengung, dan di depan dekat kelas bisnis nya (yang bikin iri liat orang di kelas bisnis....). Maskapai ini dengan anak usahanya, Wings Air memang banyak banget pilihan rutenya, mulai dari yang rute domestik sampai ke bandara perintis, sampe ke luar negeri. Sayangnya, (atau mungkin untungnya ya...buat si maskapai.....) pesawatnya selalu penuh dan load factor selalu di atas 90%. Dengan kondisi begitu, plus budaya masyarakat kita yang suka bawa oleh-oleh gak kira-kira masuk ke bagasi, malah jadi rame deh satu kabin dan buat kurang nyaman (malahan, rasanya AC-nya kurang kerasa kalau lagi kondisi begitu.....). Kalau yang pengen menjelajah Indonesia plus harga yang terjangkau, naik penerbangan ini sepertinya cocok.

4. Sriwijaya Air

Kalau yang ini, jujur saya gak bisa komentar banyak soalnya baru beberapa kali naik. Hal yang paling saya ingat, dibanding budget airlines lain, hanya maskapai ini yang ngasih snack ke penumpangnya. Walaupun cuma roti dan air mineral 200 ml, tapi itu saya anggap bagus sekali dan lumayan untuk mengganjal perut....hehehe.....


Sebenarnya, ada beberapa budget airlines lain, misalnya Mandala-Tiger Airways, Cebu Pacific, dll yang kebanyakan rutenya internasional. Tapi berhubung belum pernah naik, belum bisa kasi pendapat. Kembali ke pembaca : Apakah maskapai yang akan Anda pilih? Silakan sesuaikan dengan anggaran, psikologis dan kondisi kebatinan Anda....:)

Wednesday 6 February 2013

Buat Paspor Yang Bikin Repot

Gara-gara keseringan baca buku tentang jalan-jalan, maka di suatu hari di bulan November 2011 (lupa tanggalnya.....maklum....) saya pun berniat buat paspor. Masalahnya adalah, tidak ada satupun ahlul bait tempat saya tinggal tau bagaimana prosedurnya, apa saja persyaratannya dan kemana harus daftar. Ditambah lagi, cerita horor (dramatisasi.......hohoho......) soal calo-calo di Imigrasi yang suka mark up harga resmi pembuatan paspor. Jadi makin bingung......

Untunglah, sebagai anak yang lahir di era informasi, nggak susah buat cari klarifikasi info beginian. Dengan bantuan Google tercinta, saya cari tata cara buat paspor. Saya memang niat mau buat paspor pakai jalur resmi. Keluar masuk blog orang yang pernah buat paspor,  dan lain-lainnya, akhirnya titik terang ketemu juga. Pembuatan paspor sekarang bisa pake online dan dengan biaya Rp225.000! Jauh lebih murah yang kalau pakai calo, yang konon bisa 2-3 kali lipatnya.



Singkat cerita, saya unggah semua dokumen yang diperlukan ke situs Ditjen Imigrasi dan kemudian dapat secarik surat, seperti resi/kupon yang menerangkan jadwal ke kantor Imigrasi berikutnya. Besoknya, saya bawa dokumen yang saya unggah tadi dalam bentuk copy (aneh juga sih...masa' udah unggah dokumen, mesti bawa hard copy nya juga buat urus kemudian.....maksudnya apa coba???), pagi-pagi dari Bekasi ke kantor Imigrasi Jakarta Timur (berhubung gak ada kantor Imigrasi di Bekasi.......) hanya untuk memastikan saya dapet nomor antrean, soalnya cuma dibatasi 200 orang tiap hari (aneh yang kedua.....kenapa harus dibatasi, coba.....bank aja gak ada pembatasan begitu....). 

Tibalah saya di kantor Imigrasi Jakarta Timur di pagi yang cerah bergelora, setelah nanya kesana-sini dan nyasar entah kemana (#Ayu Ting-Ting mode.......) dan baru tau, kalau kantornya sebelahan sama LP Cipinang (hmm...apa biar tahanan yang di sana bisa buat paspor buat lari ke luar negeri? ) dan kurang lebih hanya 1 km dari Stasiun Jatinegara (tau gitu, saya naik kereta aja dari Bekasi....-__- ). Begitu masuk gerbang, saya udah siap mental untuk berkata "Tidak!" pada calo-calo yang mungkin nawarin saya buat paspor (lagipula, uang yang saya bawa gak banyak....hehe....). Dan ternyata.....jreengg...nggak ada calo yang terang-terangan nawarin saya buat paspor, dan sepertinya memang gak ada calo.

Masuk ke kantornya, ternyata harus ambil map yang disediakan oleh pihak Imigrasi (aneh nomor tiga.....buat apa pake map dari sana ? map dari luar belum lulus uji ya? ) yang di depan kounternya ada tulisan "GRATIS"...eh, taunya bayar Rp5.000 (-___-......you know what i mean, eh ? ). Ambil map (tepatnya, beli map) dan langsung naik ke lantai 2 buat pengurusan paspor. Di aula utama, ternyata ramai sekali saudara-saudara! Asli, ternyata banyak juga yang ngurus paspor, jadi heran dan merasa kontras sama kehidupan pinggir rel yang terpampang di depan kantor Imigrasi. Kemudian, saya tanya-tanya sama petugas  satpam di sana soal pendaftaran paspor yang online....eh, si bapak nggak tau....saya lihat sekeliling aula, ada 1 loket khusus yang melayani pendaftaran online. Yes, nggak ada antrian dan satu-satunya loket yang kosong. Tanya ke petugas loket, ternyata jawabannya, " Oh iya mas, langsung aja serahkan dokumennya mas di sini, gak usah ambil nomor antrean. " "Terus, gimana pak?" tanya saya, dan dijawab singkat "Sudah selesai mas, nanti tiga hari lagi datang buat foto dan sidik jari" . -__-" (Aneh nomor empat, kenapa gak langsung aja diproses? berkas kan udah lengkap? )

Tiga hari kemudian, saya datang lagi pagi-pagi....takutnya nggak dapat nomor antrean. Ambil nomor antrean, nunggu antrean mulai dari semangat, ngantuk, lapar, sempat makan siang, sempat shalat, sempat jalan-jalan keliling kantor Imigrasi, main hape, dan ngeliatin orang-orang yang ngurus paspor, bincang-bincang kepada sesama pembuat paspor sampai akhirnya saya dipanggil........jam 13.30....hadeuh. Bayar biaya paspor, terus slipnya dibawa ke bagian foto dan sidik jari buat ambil foto dan sidik jari. Dan setelah ambil foto dan sidik jari, dengan hormat di suruh pulang dan datang 2 hari kemudian. Krik....-__-"" (Aneh nomor lima, kenapa gak langsung aja tahap wawancara, soalnya meja wawancara dan tempat foto ada di satu ruangan....)

Dua hari kemudian, rutinitasnya sama : Ambil nomor antrean, nunggu antrean mulai dari semangat, ngantuk, lapar, sempat makan siang, sempat shalat, sempat jalan-jalan keliling kantor Imigrasi, main hape, dan ngeliatin orang-orang yang ngurus paspor, bincang-bincang kepada sesama pembuat paspor dan kali ini saya baru dipanggil pukul.......15.30.....haadeeuuuhhh. Setengah jam lagi mau tutup kantor. Masuk ke ruangan tempat foto yang seberangnya ada meja-meja untuk wawancara dengan wajah yang udah nggak karuan. Wawancaranya juga ringan banget, nggak kayak wawancara kerja. "Wah, dik, mau ke mana buat paspor?" saya jawab, " Liburan pak, mana tau mau ke Singapura atau Malaysia (mau bilang ke Alaska atau Kutub Selatan, ntar malah ditolak......)." Basa-basi 5 menit, terus si bapak kasi persetujuan deh. Tanda tangan paspor, dan....jreenngg....horee....paspor saya jadi!

Secara umumnya sih, pelayanan di sana bagus. Tapi, lama antrenya yang gak tahan....maka, di papan penunjuk kepuasan pelanggan yang ada, saya kasi poin 80, atas pertimbangan tidak calo, tepat waktu (walaupun lama), gak ada suap atau pelicin, dan poin negatifnya, lama.....Jadi, kalau mau buat paspor sesuai prosedur, memang cuma Rp225.000, tapi perjalanannya, lama....atau mau pake calo yang cepat tapi duit habis banyak? Pilihan ada di tangan Anda......


Saturday 2 February 2013

Yogyakarta Mahal?

Tugu  Jogja Kembali

Saat membaca berita tersebut di sini  dan juga di portal ini dan situs ini. terus terang saya kaget. Benarkah Yogya jadi semahal itu? Sebenarnya kalau menurut pendapat saya, ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait berita tersebut, diantaranya :

1. Soal Tiket Masuk Borobudur

    Sebenarnya, yang perlu ditanyakan adalah, benarkah tiket masuk tersebut USD20 ? Jika benar, apakah berlaku untuk semua wisatawan atau wisatawan tertentu? Terakhir kali saya masuk Borobudur, harga tiket untuk wisatawan dalam negeri adalah Rp22.500 (belum tau, apakah naik lagi.....). Dan jujur, sejak dulu memang tiket masuk ke Borobudur untuk wisatawan asing memang USD20.....begitupun, tetap aja banyak yang datang.....

2. Soal Biaya Hidup

    Jujur, kalau bandingannya dengan Jakarta, jelas biaya hidup di Yogyakarta tergolong murraaahhhh amat, bahkan kalau merujuk berita di atas yang masih di dalam kisaran 1 jutaan. Sayangnya, data di atas kurang jelas, peruntukan pengeluaran tiap mahasiswa yang belajar di Yogya untuk apa aja. Selalunya, porsi biaya tempat tinggal dan konsumsi selalu jadi yang terbesar, dan kalau kita lihat di Yogyakarta dengan asumsi kost Rp300.000-an dan makan Rp450.000-an (makan Rp15.000/hari, udah lebih dari cukup malah di Yogya....)
baru menghasilkan angka Rp750.000. Jadi, kemana sisa uangnya dipakai???


Pada pandangan saya, untuk area tertentu, seperti di Malioboro, jujur aja nih.....memang keterlaluan mahalnya. Waktu itu saya pesan burung dara goreng dan teman saya hanya pesan gudeg, total habis hampir Rp50.000!!! Padahal, burung daranya keciilll banget menurut saya, malah lebih cocok disebut anak ayam digoreng. Sedangkan porsi untuk gudeg, tak sebesar yang diduga. Alhasil, kami cari makan lagi ke Alun-alun Utara dan makan sego kucing (nasi kucing, nasi dengan porsi kecil.....bukan nasi buat makan kucing....) plus sate telor plus wedang jahe, totalnya Rp5.000!!


Nah, buat wisatawan yang pertama kali datang juga, terutama yang ingin beli suvenir mesti pakai jurus tawar-menawar ala raja tega. Saya ditawari topi Dagadu dengan harga Rp50.000 (wuidihh....kayak harga topi yang dibeli di dalam pesawat.....) dan saya tawar Rp10.000! Akhirnya, si mas penjual sepakat di harga.....treeengg..treeenggg....Rp15.000 saja.....!! Jadi, mesti gila-gilaan dan ugal-ugalan kalau mau nawar di kawasan Malioboro.

Dan yang terakhir....kemana-mana saya lebih sering jalan kaki atau naik TransJogja buat kemana-mana (kecuali di hari terakhir pas mau pulang, ngejar kereta api di Stasiun Tugu....karena kelamaan datengnya bus TransJogja, si mbak penjual tiket justru kasi saran buat naik bus biasa aja.....sungguh aneh dan absurd .... ckck...). Itu jauh lebih hemat daripada sewa travel. Kalau punya kendaraan pribadi, motor misalnya bisa juga lebih hemat.

Jadi, apakah Yogyakarta mahal? buat saya pribadi, mahal sih untuk kondisi dan tempat tertentu.....tapi secara umum, nggak mahal-mahal juga, malah murah. Soalnya, baru kali itu saya sadar berharganya uang receh Rp100, Rp200 di sana, yang selama ini sering disepelekan. Mahal atau murah, tergantung model traveling dan pengetahuan soal mencari tempat makan dan akomodasi yang murah. Yogya tetaplah Yogya, yang unik dan beda dengan tempat lain di Indonesia dengan segala ciri khasnya.