among us

Saturday 18 May 2013

Kelaparan di Singapura

Seharusnya, orang yang ke Singapura bisa senang jalan-jalan. Tapi, hal yang ini agak terganggu gara-gara soal makanan. Apalagi yang saya takutkan selain ke-halal-an makanan yang ada di Singapura (secara, Muslim di sana kan minoritas...) dan oleh karena itu, alasan lain saya sarapan di Malaysia sebelum berangkat ke Singapura karena faktor biaya, faktor halal tadi yang jadi pertimbangan.

Begitu menjejak sampai di Singapura pukul 9.30, 2 jam kemudian padahal jam masih menunjukkan pukul 11.00 waktu Singapura dan saya sudah kelaparan, padahal itu masih jam 10.00 WIB, masih jauh dari jam makan siang. Waktu itu, saya sudah jauh dari Bugis Street yang menjual makanan dan minuman murah dan bingung mau cari makanan di mana. Akhirnya, pengen balik ke Bugis Street tapi malah nyasar di sekitar area Orchard Rd dan Bras Basah Rd. Ckckck...



Dalam hati, sembari berpikir di mana cari tempat makan saya berusaha menenangkan diri. Cari masjid terdekat supaya bisa tiduran sejenak adalah triknya. Eh....taunya saya kesulitan mencari masjid di sekitar area tersebut. Ketemu papan tanda masjid di Bencoolen Rd (baca : Jalan Bengkulu) ternyata di Bencoolen Rd nya sedang dalam perbaikan untuk buat MRT baru. Setelah mencari dengan hati-hati dan saksama, akhirnya masjid ketemu di.....dalam sebuah gedung dan tersembunyi....Yaelah, pantesan dari tadi muter-muter gak ketemu -_-".

Sekalian tiduran dan nge-cas HP sejenak (lumayan..hehe...) saya baca-baca buku panduan untuk cari makanan yang halal dan murah di sekitar Orchard Rd. Akhirnya, setelah membaca beberapa saat, saya putuskan untuk cari makanan di Plaza Singapura yang menurut buku ada gerai makanan Indonesia di foodcourtnya. Setelah shalat Dzuhur (yang azannya ternyata gak keluar gedung, tapi cuma di dalam doang...) saya pun membulatkan tekad, dengan semangat segera menuju ke Plaza Singapura untuk cari makan ! Yeahh!

Dengan sisa tenaga yang ada, saya pun berjalan keluar masjid, menyusuri Bras Basah Rd ke Orchard Rd. Eh, gak taunya ada yang nanya sama saya waktu mau nyeberang :

"Excuse me, do you know where is Orchard Rd?" tanya seorang mbak.

"Over there..." jawab saya sambil menunjuk papan jalan Orchard Rd yang di depan kita.

"No, I mean, do you know where is Takashimaya?" bales si mbak.

Dalam hati, " Yaelah....ni orang sebenarnya mau nanya apaan sih? muter-muter gitu, kenapa gak dari tadi nanya langsung aja Takashimaya di mana....ckckck..." dan saya jawab dengan nada datar (padahal biasanya saya ramah, lho...hehe...) dan ekspresi datar juga, "Sorry, I don't know about Takashimaya" 

"Oh, sorry, thank you.." kata si mbak.
  
Ternyata, percakapan tadi tepat berakhir saat lampu pejalan berjalan menyala. Setelah berjalan beberapa saat, baru saya mikir, "Wah...kejam juga tadi ya, masa' jawabnya ketus gitu...tapi biarin deh, lagi lapar juga nanya berbelit-belit gitu..", pembelaan diri saya.

Sampai di Plaza Singapura, langsung menuju ke foodcourtnya di lantai paling atas. Banyak sih, gerai makanan, tapi rata-rata masakan China dengan huruf Mandarin pula. Yah...daripada berspekulasi mendingan gak usah beli deh, batin saya. Akhirnya ketemu gerai masakan Indonesia di sudut foodcourt, dan saya pesan nasi dengan ayam bakar seharga SGD 5,80, padahal di buku yang saya baca, harganya masih SGD 4.....:(
Dikasih piring dengan nasi, eh taunya ayamnya yang datang besar lagi gede banget! 3/4 piring besarnya, dan gak tau juga itu ayam apa...ayam kalkun mungkin. Saya aja makan sampai hampir muntah kekenyangan gara-gara ukuran ayamnya yang jumbo!

Pada akhirnya, selamatlah saya dari kelaparan di Singapura. Singkat cerita, untuk makan malam saya terpaksa harus beli KitKat kecil dan air isotonik 100 Plus (merk ini mudah dijumpai di Malaysia dan Singapura) dengan harga masing-masing SGD 1,10 dan SGD 1,80...ckck....dan makanan itulah yang jadi pengganjal perut sampai saya menyeberang kembali ke Johor, Malaysia dan seterusnya sampai di Terminal Bersepadu Selatan, KL keesokan harinya. Hadeuhh...nasib wisatawan kere....


Saturday 11 May 2013

Rumah Tjong A Fie alias Tjong A Fie Mansion di Medan

Hmmm...ini judul terpanjang yang pernah saya tulis di blog sampai saat ini...maklum, bahkan untuk orang lokal sendiri belum tentu pernah ke sana. 

"Hah, ngapain kau ke sana ? memangnya ada apa di sana?" kata salah satu teman waktu saya cerita saya ke Rumah Tjong A Fie.

"Ahh...males aku ke sana, 35 ribu mahal cuma untuk nengok kayak gitu aja..." pernyataan teman saya lagi waktu saya sebut harga tiket masuk dan motivasi saya ke sana.

Sebenarnya, sejak diketahui bahwa kota Medan kering banget sama wisata budaya, Rumah Tjong A Fie adalah salah satu peninggalan yang mesti dilestarikan. Selain Istana Maimoon dan Masjid Raya yang sudah terkenal. Dan menurut saya, salah satu caranya adalah... dengan mengunjunginya.

Maka, pada suatu hari di Februari 2013 saya pun ke sana, dengan mengaku dari Jakarta (soalnya malu juga, udah sejak lahir di Medan tapi gak pernah ke situ), saya pun membayar 35 ribu tiket masuk. Si mbak penjaga memberi tiket dan dipersilakan masuk. Eh...ternyata si mbak juga yang merangkap jadi tour guide (walaupun bangunan antik, sebagian dari ruangan rumah masih ditempati...takutnya ntar masuk kamar orang lagi kalau nggak ada tour guide...) dan kita mulai perjalanan dari sayap kiri bangunan.
 

Sayap kiri bangunan dulunya kamar tidur, yang kemudian diubah jadi ruang kerja. Di sini masih ada klipingan koran-koran dari tahun 1950-an dari bahasa Belanda (sumpah...gak ngerti bacanya...) dan juga peralatan tulis. Di ruangan sebelahnya, ada piano tua yang konon dari zaman Tjong A Fie masih hidup dan surat wasiat Tjong A Fie untuk menjaga rumah seisinya kepada anak cucunya yang sudah diperbesar. Imajinasi liar saya : Kira-kira itu piano suka usil main sendiri gak ya, malam-malam ???



Pindah ke bangunan utama, kita masuk ke ruangan foto, dipajang banyak foto Tjong A Fie : Tjong A Fie dengan keluarganya, istri Tjong A Fie, Tjong A Fie dengan pejabat Belanda, Tjong A Fie dengan keluarga Sultan Deli, dan lain-lain. Setelah itu, masuk ke ruang makan.

Kata si mbak, semua yang ada di meja makan adalah masih perabotan asli dari dulu. Gak kebayang itu mahalnya, *eh* , antiknya itu perabotan. Meja makannya sama kayak model keluarga Eropa dulu, tapi dengan sentuhan etnis Tionghua. 

Kemudian, masuk ke kamar Tjong A Fie yang sebenarnya, ada koper besi yang beratnya subhanallah banget. Konon, koper itu yang di bawa Tjong A Fie sejak merantau dari China membawa segala barang-barangnya. Bayangkan, koper dengan ukuran kira-kira 1,5mx1mx30cm dari besi solid. Ckckck....gimana dulu bawanya ya?

Di kamar Tjong A Fie juga banyak berkas-berkas seputar perusahaan beliau di tanah Deli. Termasuk catatan peminjaman dari bank. Perjalanan lanjut ke ruang tamu yang dibagi tiga : ruang tamu untuk keluarga, ruang tamu utama di depan untuk tamu pejabat Belanda dan umum, dan ruang tamu khusus untuk menyambut Sultan Deli. Dan...suasana interiornya beda-beda semua!

Ruang tamu keluarga interiornya berunsur Tionghua, dengan guci besar dan lukisan benang bergambar burung Phoenix. Ruang tamu besar, suasanya ala Eropa dengan kursi yang juga mirip kursi ala Eropa. Nah...yang menakjubkan, ruang tamu khsusus Sultan Deli. Konon, Tjong A Fie berteman dekat dengan Sultan Deli, bahkan anak Sultan dianggap anak angkat. Tjong A Fie juga menyumbang uang untuk pembangunan Masjid Raya dan Istana Maimoon, dan juga memberikan hadiah jam untuk gedung Staadhuis yang sekarang jadi Balai Kota. Seluruh ruangan tamu bernuansa Melayu dengan dibalut warna kuning emas, warna khas Melayu Deli.

Naik ke atas, di lantai dua. Ternyata di atas yang ada adalah ruang dansa untuk tamu-tamu Tjong A Fie dulunya. Dipamerkan juga foto-foto kota Medan zaman dahulu (yang pasti lebih indah dari sekarang...*sigghh* ) dan foto saat Tjong A Fie meninggal. Oh ya, ada dua altar di rumah Tjong A Fie, altar yang atas masih dipakai keturunan Tjong A Fie dan yang di bawah, boleh untuk foto-foto (tapi nggak deh...entar di fotonya ada muncul sesuatu lagi...hehe...).

Selesai tur, sekali lagi wawasan saya bertambah terhadap satu tempat wisata baru, yang buat sebagian orang terlupakan. Sayangnya, banyak yang nggak tau tempat ini, dan malah lebih tau Leong Fat Tze mansion di Penang, Malaysia. Padahal mirip sih. Tapi kayaknya Pemkot kurang peduli sama yang beginian.... :(

Tuesday 7 May 2013

Lagi - lagi ketemu orang Indonesia

Sepanjang perjalanan liburan saya di Malaysia dan Singapura yang lalu, tak dipungkiri ternyata orang Indonesia bisa dengan mudah saya jumpai. Bukan sebagai pekerja, justru sebagai wisatawan juga dengan macam-macam alasan. Beberapa tempat dimana saya ketemu orang Indonesia antara lain :

1. Penang



Sewaktu turun dari bandara ke Komtar, ada mbak-mbak yang naik, dengan dandanan khasnya yang saya yakin, dia pekerja Indonesia. Ehh...ternyata bener, gak lama si mbak ngomong Boso Jowo karo koncone...ckck...

Turunlah saya di Komtar, tengah hari dan lapar. jalan ke belakang Komtar, eh...ada warung nasi Indonesia. Jadinya, makan di warung itu deh...

Sewaktu di Pengkalan Weld, saat menunggu RapidPenang Hop On Free yang gratis (hehe....gratis itu boleh kalau memang ada...) saya ketemu ibu-ibu yang nanya ke saya seperti ini, 

"Dek, tau nggak mall, yang tiga gedung mall nya jadi satu?"

Sambil mikir sejenak, saya pun menjawab : "Komtar? Yang bangunannya tiga jadi satu namanya Komtar, Bu..."

"Oh, iya ya? naik apa ya ke sana?" tanya si ibu lagi.

"Ini, naik aja ini (sambil nunjuk ke bus RapidPenang yang Hop On Free)... saya juga mau ke sana, Bu..."

Dan singkat cerita, ternyata si ibu datang dari Bandung ke Penang dengan tujuan mau berobat. Lumrah sih, soalnya kebanyakan orang juga kalau mau pergi ke Penang yang ditanya pasti, "Mau berobat ya?"

2. Bus dari Penang ke KL

Kalau yang ini, dari dengar percakapan antara ibu dan anaknya, udah ketahuan mereka dari Indonesia. Cuma, saya gak ngobrol dengan mereka.

3. KL

Kalau ini sih, jangan ditanya... di Masjid India, yang saya dengar malah alunan lagu dangdut (sigghh) dan bukannya lagu-lagu Melayu. Malah, saya ketemu lagi sama yang namanya bakso, mie ayam dan saudara-saudaranya di sini. Walaupun begitu, saya belum pernah ketemu sama pekerja kasar orang Indonesia di sini.

4. Melaka

Di sini, ketemu denga sekumpulan turis cewek yang heboh banget foto-foto dan gaya-gayaan di bekas reruntuhan benteng dan gereja Portugis kuno yang di atas bukit. Gaya nya mulai dari foto dengan latar belakang kota Melaka, gaya foto lompat, gaya foto jingkrak (untung gak ada gaya guling-guling di tanah) dan lain-lain. tapi, setelah itu gak ketemu lagi tuh, sama turis dari Indonesia. Malah lebih sering ketemunya rombongan tur dari China, Korea atau Jepang.

5. KL ke Johor

Di Terminal Pudu Raya, menjelang tengah malam, saya menunggu bis ke Johor yang akan berangkat pukul 23.59 (yang pada akhirnya, berangkat pukul 00.30). Saya mendengar percakapan khas orang Medan yang nggak asing :

"Loh, mananya jadwal bus kita ini? lama kali kita ni berangkat....kok nggak ada di jadwal? apa memang nggak ada di jadwal atau belum ada?" kata seorang ibu ke seorang bapak.

"Mungkin belum ada bu...kita tunggu aja sebentar lagi..." timpal saya.

Singkat cerita lagi, ternyata si ibu dan suami dan seorang anaknya ternyata sedang menuju Singapura buat jalan-jalan. Saat ditanya kenapa saya turun di Johor kalau mau ke Singapura, saya jawab terus terang,

"Soalnya, kalau sarapan di Singapura mahal...jadi mending sarapan di Malaysia dulu...."

6. Imigrasi Singapura

Ini sudah pernah saya ceritakan soal pertemuan dengan mbak-mbak dari Medan yang bertemu lagi di ruang Imigrasi Singapura. Hmm.....

7. Singapura

Di sini, saya ketemu orang Indonesia di Bugis Street dan di Merlion. Di Bugis, saya sempat tanya juga,

"Mas, tau nggak di mana Tekka Mall?"

"Wah, saya nggak tau juga...saya juga baru sebentar di sini" kata si Mas

Sementara di Merlion, saya cuma dengar-dengar aja...dengan berbagai logat yang sudah pasti itu dari Indonesia. Ada yang pake logat Medan, Jakarta, Jawa yang medhok juga ada...

Tapi... ciri khas yang mudah dikenali selain bahasa, ternyata wajah orang asli Malaysia lebih mirip orang di Sumatera dibanding mbak-mbak atau mas-mas di Jawa. Dan potongan TKW kita di sana, memang mudah dikenali dari gaya berpakaiannya. Jadi, jangan khawatir kalau Anda tersesat di sana. Ingat, Indonesia adalah pengunjung terbanyak kedua negara. Jangan heran, Anda bisa menemukan orang Indonesia dengan mudah. :)

Wednesday 1 May 2013

Bandung, Beberapa Tahun Kemudian...

Catatan : tulisan ini hanya pandangan pribadi penulis, tidak ada motivasi menyudutkan pihak-pihak manapun.



Setelah sempat mengenal baik dengan Bandung dalam kurun waktu kuliah dulu, beberapa waktu yang lalu saya kembali mengunjungi Bandung atas alasan sebagai tour guide teman yang belum pernah ke Bandung. Setelah beberap tahun saya tinggal, ternyata banyak banget perubahan di Bandung. Beberapa diantaranya :

1. Sampah

Yups, sepertinya makin banyak sampah di jalanan Bandung dibanding beberapa tahun lalu. Bukannya menganggap kota lain bersih, tapi sampah di Bandung sudah masuk tahap "keterlaluan." Kemanapun saya melangkah, pasti ada sampah di sudut-sudut bangunan atau pinggir jalan. "Lah, ini mana citra Kota Kembangnya?" gumam saya dalam hati waktu jalan-jalan di Bandung beberapa waktu lalu. Bahkan, saat saya ada di pusat kota Bandung dan naik ke Kawah Putih dan Situ Patengan, masih aja ada sampah di situs tersebut, walaupun nggak ada sampah di kawasan perkebunan teh. Pengennya sih, Bandung bebas sampah baik yang terlihat maupun yang tak terlihat...(kayak jin aja...).

2. Kesejukan

Pertama kali saya ke Bandung dulu, saya nggak pernah sekalipun lepas jaket karena gak biasa sama udara di Bandung yang tergolong dingin buat saya. Maklum, tinggal dekat pantai di pesisir pantai utara Jawa dulu terasa  jauh banget beda suhunya. Dalam kunjungan kenegaraan ke Bandung kemarin, saya malah cuma pakai kaos T-Shirt aja dan nggak kerasa dinginnya Bandung, bahkan saat hujan sekalipun. Benarkah Bandung makin panas? Apa karena kebanyakan rumah dan kendaraan ya....

3. Pedagang Kaki Lima

Salah satu yang saya suka dari Bandung adalah karena cuma di kota ini, sejauh pengamatan saya yang punya jalur trotoar untuk pedestrian yang lebar dibanding kota lain. Ditambah lagi masih banyak pohon peneduh, jadi jalan kaki terasa nyaman. Nah... sewaktu kunjungan saya kemarin, makin banyak aja yang jualan di trotoar. Bukannya gak senang sama mereka yang cari rezeki, tapi kayaknya sudah "over" pedagang di trotoar dan pinggir jalan. Akibatnya, kita yang mau jalan kaki mesti serasa "minta izin" sama pedagang yang jualan di trotoar atau bahu jalan. Ini termasuk yang mengurangi kenyamanan jalan-jalan di Bandung juga menurut saya.

Ada lagi sih, misalnya masalah kemacetan yang makin menjadi-jadi apalagi di Jalan Otista di depan Pasar Baru yang bikin...weehhh...terus juga makin banyak angkot berseliweran di seantero Bandung yang kayaknya bakal mengalahkan Bogor sebagai kota sejuta angkot. Sisi positif yang saya suka, masih ada Pasar Kaget setiap minggu di depan Gasibu...soalnya saya selalu suka beli susu murni yang murah di sana, cuma Rp2.500 sebungkus...hehehe...

Semoga Bandung punya sistem tata kelola kota yang baik, jangan sampai tunggu semerawut dulu baru ditertibkan. Meningkatnya turis ternyata tak secepat meningkatnya kemudahan dan fasilitas publik di Bandung. :)