among us

Saturday 1 March 2014

Bangkok : BTS, MRT, Bus dan River Boat

Sebagai pelancong yang baik, kita mesti tau jalur-jalur transportasi yang penting di Bangkok. Bahkan kalau perlu, kita ambil mata kuliah "Transportasi Bangkok" 2 SKS, biar gak kesasar...:D Nah, beberapa info dan petunjuk di seputar transportasi ini adalah :

Peta MRT-BTS Bangkok, source Google.


1. Bus no. 29 beroperasi 24 jam, tarifnya 8,5 baht dan mirip kopaja. Tujuan bus ini ke Hua Lumphong Train Station. Bus inilah yang mengantar saya dari Don Mueang Airport ke Hua Lumphong di malam buta jam 3 pagi. Sialnya, saya kesasar waktu mau ke Hua Lumphong dari Chatuchak Market , karena saya kira jalurnya 'loop" , akhirnya malah sampai dibawa keluar Bangkok! Tapi jangan khawatir karena dengan naik bus no. 20 akan diturunkan kembali di Chatuchak.

2. Semua bus umum di Bangkok ada dua : yang ekonomi mirip kopaja, tarifnya sekitar 6-9 baht dan yang AC kayak Transjakarta tarifnya 8-20 baht. Kebanyakan rute ditulis dalam huruf abugida, jadi cobalah bertanya (kalau nggak pusing dan sanggup mendengar celotehan dalam bahasa Thai...hehe...).

3. BTS adalah tulang punggung transportasi Bangkok, dan juga saya :D . Tarif termurah adalah 15 baht untuk stasiun yang dekat dan 42 baht yang jauh. Saya sampai hapal jalur BTS ini, karena seringnya naik BTS. Ilmu "Cara Transit Yang Benar" juga harus dikuasai karena ada beberapa stasiun yang bersinggungan. Lihat peta adalah cara yang terbaik.

4. Siapkan uang koin kalau mau naik BTS ini, kalau nggak mau kerepotan nukar duit kertas di loket. Di setiap stasiun ada loket khusus penukaran uang kertas ke koin, karena sistem beli tiketnya masih pakai koin. Kata teman saya, itu karena BTS masih pakai sistem lama dari tahun 1998 (Bayangkan, tahun segitu kita masih sibuk krisis....-_-") . Jadi masalah kalau kita harus nukar koin di jam sibuk, karena antrian jadi panjaaaannnggg sekali. Dan lagi antri paaaannjjaannnggg saat mau beli tiket.

5. Karena sistem yang tidak efisien ini, tidak heran stasiun selalu mandeg di lokasi pembelian tiket dan penukaran koin. Mana kalau beli tiket, harus masukin koin satu persatu kayak masukin duit ke telepon umum. Bayangkan kalau mau beli tiket seharga 42 baht pakai koin 5 dan 1 baht...-_-". Kalau pakai koin 10 baht masih mendingan. Koin 2 baht tidak diterima, karena pada pembuatan BTS ini koin 2 baht belum ada.

6. Tiket yang keluar bentuknya token plastik kayak naik Monorail di Kuala Lumpur. Waktu naik, sentuhkan aja koin ini ke gerbang, dan masukkan saat keluar di stasiun tujuan.

7. Di stasiun BTS Chit Lom, ada money changer yang kasi harga bagus, dibanding harus nukar di tempat lain. Tidak ada tempat sampah atau toilet di stasiun BTS, jadi kalau kebelet atau pengen buang sampah, silakan tahan!

8. Kalau mau ke MBK, carilah BTS tujuan National Stadium dan turun di stasiun akhir.Kalau mau ke Chatuchak Weekend Market, carilah BTS tujuan Mo Chit. Kalau mau ke Center World, Siam Paragon naik BTS yang berhenti di stasiun Siam atau Chit Lom.

7. MRT cuma ada 1 jalur : Hua Lumphong - Mo Chit . Tarif terjauh 52 baht. Sistem di MRT sudah lebih maju karena beli tiket sudah bisa pakai uang kertas.

8. Baik MRT dan BTS beroperasi dari jam 5 sampai 23. Jadi, kalau mau pergi di luar jam tersebut, silakan naik taksi.

9. Chao Praya River Boat adalah angkutan sungai di Bangkok. tarifnya bervariasi mulai 3-20 baht. dan kalau mau ke Grand Palace kita mesti naik ini.

10. Di Victory Monument area, akan banyak terdapat minibus dan van menuju kota-kota di luar Bangkok dan kota-kota lain di Thailand. Jadi, kalau mau ke Ayyutthaya, atau Kanchanaburi, bisa naik van dari sini. Kalau ke kota lain yang lebih jauh, naik dari New Mochit Bus Terminal.

Nah..cukup dulu deh info yang saya tau soal transportasi di Bangkok. Semoga membantu yang mau ke sana...:)

Tuesday 18 February 2014

Where Do You Come From?

Yap...itulah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya waktu saya di Thailand dan Kamboja. Biasanya, sebelum pertanyaan tersebut dilontarkan, yang bertanya akan menatap saya lekat-lekat, seakan saya buronan dalam DPO dan menunjukkan mimik wajah yang serius. Bedanya, di Thailand lebih cenderung tatapan yang tajam dibanding ngomong, soalnya pas mereka mulai ngomong, saya langsung bilang "Sorry, I don't speak Thai" dan langsung diam. Tapi, lebih seringnya, udah dibilang begitu tetap aja saya diajak ngomong dan si pembicara nyerocos...ya udah, saya liat depan aja dan anggap gak ada. Terserah dia anggap sombong, toh kalau nggak ngerti masa' harus dipaksa...? :D

Angkor Wat


Nah, di Kamboja, mulai dari perbatasan sampai saya balik ke Thailand lagi, begitu ngobrol langsung deh orang Kamboja nanya saya pertanyaan itu. Mungkin dia heran kali, kok ada orang Kamboja (secara, orang Thai kulitnya cenderung lebih cerah) sok-sok an gak mau ngomong dalam bahasa Khmer, bayar makanan pake dollar dan jadi turis. Setelah saya jawab dari Indonesia, tebak apa respon yang kemudian keluar ? Mereka bakal bilang ," Ah...your face same with Cambodians". Ya iyalah....emangnya se Asia Tenggara Raya ini nenek moyangnya beda? Saya sih cuma senyum aja dengar jawaban begitu...sambil mikir, mungkin jarang Indonesia yang kemari, atau saya yang mukanya pasaran banget ya, mirip orang Kamboja ? :p

Dibanding orang Thailand tengah (Bangkok dan sekitarnya), orang Kamboja figur wajahnya lebih mirip orang Indonesia, bahkan saya pikir banyak yang mirip mas-mas dan mbak-mbak...no offense loh. Nah, saya yang mukanya Indonesia sekali, sangat wajar dicurigai sebagai penduduk lokal dan wajar ditanya begituan. Tapi, kan capek juga ditanya begitu terus-terusan. Untungnya, entah kenapa, saya bisa masuk ke Angkor Wat gratis, gak bayar USD 20 padahal saya sendiri waktu itu. Ceritanya, saya kan nggak tau di mana loket buat beli tiket, jadi main masuk aja ke dalam. Nggak ada petugas yang curiga, mungkin dikiranya orang lokal kali. :D


Yang bikin frustasi, jelas waktu di Thailand. Orang Thailand sedikit sekali yang tau Bahasa Inggris, bahkan yang dasar kayak angka-angka. Pertama kali, saya mungkin maklum karena setiap nanya jalan sama tukang parkir atau kondektur atau orang jualan di pinggir jalan. Tapi, lama-lama jadi stress karena hanya sedikit sekali yang bisa bahasa Inggris, bahkan polisi turis sekalipun. Jadi, buat apa ada polisi turis akalu nggak bisa bantu turis? Au ah, gelap....Kalaupun bisa, pasti saya harus dengar baik-baik, soalnya kebiasaannya adalah ada huruf-huruf yang tertukar, atau tak terdengar, misalnya f,v akan jadi w atau b jadi p. 

Dibalik semua itu, ekspresi wajah mereka saat saya bilang dari Indonesia yang paling tak terlupakan. Campuran antara takjub, heran dan senang. Bahkan supir tuk-tuk di Kanchanaburi langsung bilang "football" saat saya sebut Indonesia, soalnya malam itu ada pertandingan Indonesia lawan Thailand. :D

Wednesday 12 February 2014

Edisi Makanan di Thailand - Kamboja

Selain jalan-jalan tak tentu arah dan menjelajah tempat-tempat menarik di kedua negara, tetap wisata kuliner dijalankan. Walaupun pilihan terbatas karena nggak berani coba yang aneh-aneh, beberapa jenis makanan sempat dicoba dan dirasa di kedua negara ini. Mau tau apa aja? Ini dia....

1. Kaeng Som

Ceritanya, teman saya yang asli orang Thai di Bangkok ngajak saya buat makan di daerah Chao Praya Riverside di sekitaran pasar Pak Khlong (Thai : Pak Khlong Talat). Nah...saat ditawari mau makan apa, saya cuma bilang apa makanan khas dan unik yang ada di sini? (Dengan gaya sombong, padahal duit tinggal THB160...haha...) Maka, dia menawarkan untuk mencicip Kaeng Som ini.

Apa menariknya? kata si teman, ini mirip Tom Yam, bedanya Tom Yam itu biasanya untuk anak-anak dan turis doang (uugghh...menohok sekali ke jantung!), sedangkan orang Thai lebih suka Kaeng Som karena lebih "spicy" dan pedas. Buat saya pribadi nilai kepedasan Kaeng Som ini 8/10, cukup pedas bahkan untuk lidah orang yang terbiasa pedas. 

Kaeng Som, atau disebut juga Thai curry terdiri dari bumbu khas Thai, terutama cha om (Senegalia pennata). Untuk amannya, saya pesan yang Kaeng Som udang.

Kaeng Som udang

2.Fried Basil with Shrimp

Terjemahan mudahnya : Nasi + basil goreng dan udang. Apa itu basil? tanaman basil banyak dipakai di Thailand dan negara Indochina buat bumbu ataupun dimakan langsung. Daunnya mirip sama daun kemangi, tapi lebih banyak bulunya 9jangan pikir yang aneh-aneh...).

Di menu yang ini, teman saya merekomendasikan ini, soalnya basil jarang-jarang dimakan di luar Thailand dan orang Thai suka sekali dengan basil ini, bahkan dalam telur dadar lebih umum pakai basil dibanding seledri. Dengan ditambah udang yang besar dan telur mata sapi, dan pemandangan sungai Chao Praya, indah sekali makan di sini. 

Fried Basil with Shrimp


Berapa harga makanannya? Saya lupa, soalnya saya gak bayar...:D (jiwa gratisan....) yang bayar teman saya yang di Bangkok. Kalau gak salah sekitar THB 100 - THB 150 buat masing-masing.

Lanjut ke Kamboja, yang paling terkenal adalah Amok...

3. Amok

Ada beberapa jenis amok, di antaranya yang dikukus dalam daun pisang ataupun yang kayak kuah soto. Nah, saya pilih yang mirip kuah soto, kalau dibilang mirip dengan soto Medan. Lagi, demi amannya saya pilih Vegetarian Amok soalnya pilihannya hanya ada 4 : vegetarian, chicken, pork atau beef. Nggak ada pilihan ikan...:( Dengan harga USD 2, amok disajikan lengkap dengan nasi. Amok yang datang juga gak tanggung, sebesar mangkok ramen. Rasanya? saya kasih nilai 5/10 soalnya saya rasa bumbunya kurang terasa dan malah gak khas negara luar, malah rasanya mirip soto. Walaupun begitu, tetap saya rekomendasikan makanan ini buat dicoba, beda lidah beda selera...:)

Vegetarian Amok


Dari semuanya, saya suka yang Kaeng Som. Rasa bumbunya paling khas dan pedasnya menyegarkan karena ada asam-asamnya khas masakan Thailand. Nggak semua tempat jual ini, jadi silakan berburu makanan ini di tempat-tempat dekat pasar dan 'blusukan' di sana. Lebih direkomendasikan kalau punya teman orang Thai biar lebih mudah nyarinya...:)

Friday 7 February 2014

Siem Reap di Malam Natal

Tepat pada malam Natal 2013 kemarin, saya sedang berada di Siem Reap, Kamboja. Apa yang saya perhatikan? Jelas saja bagaimana suasana di Siem Reap, apakah rame atau nggak. Dan ternyata...Suasana di sana rame! tapi hanya di kawasan turis di Old Market, Pub Street, dan Night Market. Sisanya, seperti kebanyakan tempat lain, sepi....

Menuju Pub Street

Kafe dan tempat makan di sekitar kawasan itu rame luar biasa, dari berbagai turis dari berbagai negara. Saya? Well...saya menikmati malam Natal dengan melakukan jalan-jalan di kawasan area tersebut, lalu pijat seharga USD 2 untuk setengah jam dan terakhir beli crepes USD 1. Oh ya...urusan suvenir juga ada di kawasan ini. Baju kaos mulai USD 2 dan tempelan magnet kulkas USD 2 untuk 3-4 biji. Yang lain? Secara jujur, saya gak nemu barang "Made in Cambodia" di mini market di Siem Reap, malahan produknya kebanyakan impor dari Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Btw, untuk pijat, kebanyakan terkonsentrasi di Night Market Area. Harganya bervariasi mulai termurah USD 1 sampai termahal USD 10. Pijat yang bener loh ini, bukan pijat yang plus-plus (walaupun saya gak tau juga apa ada atau nggak...mungkin ada kali ye..:p ). Dan semua tukang pijatnya adalah cewek-cewek yang masih muda, hehe....Karena saya cuma ambil yang USD 2, maka pijatnya cuma di sekitaran telapak kaki doang dan...penutupnya dengan pijat di paha. Saya aja hampir kaget soalnya si mbak pijat naik ke atas kursi dan memijat paha saya! Untung tidak terjadi apa-apa...(kalau kejadian....wah....)

Suvenir terkonsentrasi di area Old Market, yang semuanya buka sampai malam. Entah kenapa, rasanya kualitas tempelan kulkasnya kurang bagus, soalnya magnetnya lepas dari keramik nya saat saya pulang ke Indonesia. Tersedia juga orang jualan kaos, kartu pos, patung-patung dan lain-lain. Murah? Entahlah...untuk ukuran saya sih, harga segitu "cukup" murah. Tapi nggak tau deh buat orang Kamboja sendiri, soalnya waktu saya pulang saya tanya-tanya orang Kamboja soal kehidupan di sana dan gajinya paling tinggi untuk sarjana sekitar USD 170.

Sekitar Night Market


Nah, berhubung saya takut-takut mau makan, pulangnya saya coba makan crepes yang menurut saya mahal...:(. Crepes tawar dengan taburan gula USD 1, dan cuma itu yang saya berani beli. Si mbak penjual ternyata dari Chiang Mai, Thailand dan seperti biasa, saya selalu diliatin. "Diantara turis bule, kok bisa ada orang Kamboja yang beli ?" gitu kali dia mikir. Saya langsung aja tanya ada apa, dan pertanyaan umum keluar, "Where do you come from? " dan saya jawab Indonesia. Pokoknya, setiap ketemu orang di sana seolah semuanya pada heran liat saya. Apa orang Indonesia jarang ke sana?

Selebihnya, tidak ada perayaan berarti di luar kawasan itu. Guesthouse tempat saya aja biasa-biasa aja pas malam Natal, gak ada hingar bingar apapun. Jadi, sungguh kesempatan berharga melihat suasana Natal di kawasan itu, di tengah negara yang mayoritas beragama Buddha.

Monday 3 February 2014

Liburan di Tengah Demo

Yang jelas, ini bukan acara demo masak...:p . Sejak November, kita sekumpulan backpacker sudah tau ada demo di Thailand dan tidak ambil pusing karena sejauh ini aman-aman aja. Nah, saat terjadi letusan demonstrasi hebat pada awal Desember, lalu lintas e-mail antar saya dan teman-teman meningkat karena kekhawatiran kerusuhan. Ada yang sampai dilarang orang tuanya malah kalau mau pergi ke Thailand, yang akhirnya setelah dijelaskan bahwa kami hendak pergi keluar Bangkok barulah diizinkan. Beberapa hari kemudian semuanya terlihat aman sampai beberapa hari menjelang keberangkatan, baik pihak kedutaan Indonesia maupun Malaysia mengeluarkan peringatan bagi warga negara masing-masing untuk meninjau kunjungan ke Bangkok. Well....ini cukup bikin cemas....


MBK pra-demo


Pada hari-H , sepertinya tidak terdengar lagi akan ada demo di Bangkok. Saya pun berangkat dengan do'a semoga baik-baik saja (mirip lagu Wali...) di Thailand dan tidak bertemu demonstrasi. Saya juga dapat info dari teman yang orang Thailand kalau mereka berkumpul di tempat tertentu dan bukan menyeluruh seantero Bangkok. Maka, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami tiba di Bangkok tengah malam pada suhu 15 derajat C dan semuanya terlihat normal. 

Nah...setelah kita bertualang 5 hari keliling Lopburi, Kanchanaburi, barulah saya dikasi kabar kalau akan ada demo besar-besaran pada 22 Desember 2013, tepat hari Minggu, tepat di depan MBK, tepat di tempat yang akan saya kunjungi (banyak banget "tepat"nya...). Pihak hostel bahkan sudah kasi pemberitahuan menghindari rute-rute jalan yang akan diblokir pendemo. Mengingat dan menimbang tidak ada acara lain di hari itu, maka niatan ke MBK tetap harus (dan akhirnya beberapa teman beli baju dan suvenir di sini...) dilaksanakan. Jam 9 kita bergerak dari MRT Queen Sirikit Convention Center, mau ke stasiun BTS Chit Lom, soalnya saya mau tukar duit dulu dan money changer di stasiun Chit Lom kasi harga yang bagus. Nah...dari sini kita terus aja jalan kira-kira 1 km ke arah stasiun BTS National Stadium dan ketemulah si MBK. Waktu itu keadaan masih tenang.

Manusia di depan MBK

Setelah kita keliling mall, makan dan kemudian keluar jam 13....jeng..jeng..jeng...barulah kerumunan orang berdemo terlihat mulai di persimpangan MBK sampai naik ke atas stasiun BTS. Kita baru paham mengapa banyak orang pakai baju merah muda dan pakai aksesoris bendera Thailand di stasiun Chit Lom tadi...ternyata mereka mau demo! Kita? Yah....sebagai turis, kita justru malah foto-foto kejadian di sini. Kapan lagi bisa liburan di tengah demo begini, ya nggak? :D

Bagaimana suasanya? OMG...Ribuuttt dan biissiinng...setiap kali orator berhenti berorasi, setiap orang tepuk tangan sambil niup peluit..dan bayangkan itu dilakukan ribuan orang! Telinga jadi budeg dan tuli sesaat, bahkan kayaknya gendang telinga menebal gara-gara dengar peluit demonstran. Jalan aja di stasiun BTS susah...udah kayak pengantin sunat keinjek paku....walaupun tidak ada dorong-dorongan, tapi berjalanan di tengah kerumunan jelas susah dan keikut arus manusia. Kita mau turun ke jalan aja sampai 30 menit! Luar biasa...

Sampai ke Staisun BTS demonya


Yang absurd, peserta demo justru malah banyak yang foto-foto selfie gak jelas gaya anak alay (well...alay juga gak cuma di Indonesia...) dan banyak penjual jus dan peluit berseliweran. Kami bahkan sempat beli jus 15 baht dan foto-foto keramaian demo di jalan dari MBK ke stasiun BTS Siam. Teman-teman, sis Zilla dkk, yang jadinya takut, justru malah jadi tertarik karena demo ini...hahaha....

Parade demo sambil bawa bendera Thailand


Setelah selama 1 jam lebih "berwisata" di tengah demo, akhirnya kita lanjut ke Chatuchak Market yang terkenal. Nah...apakah 'berwisata" di tengah demo menyenangkan? Jawaban saya : Sangat menantang dan menyenangkan! Asal selama demonya aman-aman aja...kalau jadi kerusuhan, ya mending gak usah diliat, itu nyari gara-gara namanya...:p

Saturday 1 February 2014

Selamat Datang di Kamboja !

Setelah melewati "Friendship Bridge" yang baunya na'udzubillah sesuatu banget cetar membahana badai, secara de facto saya telah tiba di Kamboja. Tapi, secara de jure jelas aja belum karena paspor saya masih bersih dari cap paspor Kamboja. Melewati gerbang perbatasan yang mirip replika Angkor Wat, melewati deretan kasino megah dan mewah yang kontras dengan pedagang kaki lima yang berjualan di depannya, dari sisi Thailand saya harus menyeberang jalan ke sisi kanan karena di sini pakai aturan LHD alias left-hand drive. Secara jujur, inilah pertama kali ke negara dengan LHD, jadi agak bingung juga, hehe...

Ini bahasa Inggrisnya benar gak ya?


Sampai di "kantor" imigrasi Kamboja yang gak mirip kantor imigrasi (lebih mirip loket bus), di depan pintu saya disodori Immigration Card Kamboja yang bikin saya ketawa. Gimana nggak, kartu imigrasinya dari kertas biasa kayak kertas buku dibanding kartu imigrasi negara ASEAN lain yang tebal dan serius. Dari melihat kantor imigrasi dan kantor imigrasinya, tanpa bermaksud merendahkan, saya sudah terbayang ekspektasi saya soal negara ini. Masuk ke dalam, you know antriannya udah panjaannnggg sampai 1 meter di depan pintu masuk. Loket cuma ada 3, dan sudah pasti lamaaaa sekali menunggunya. Btw, kalau ada yang pernah ke perbatasan Poipet ini, pasti tau ada pohon di dalam kantor imigrasinya. Waktu saya ke sana, ternyata pohonnya sudah di tebang dan di atas tunggul pohon yang tersisa dipasang altar. Ini mungkin pohon keramat kali....

Menjelang hampir sampai, saya dengar percakapan antrian sebelah yang mau share bus ke Siem Reap. Lah, saya ikutan nimbrung aja biar sekalian ada teman cerita dan mana tau dapat murah. Saya cerita dengan dua orang Belanda dan dua orang Filipina, bersepakat dengan saya untuk naik taksi dari terminal. Tak lama kemudian, saya maju buat diperiksa paspor. Disuruh menatap sensor wajah (FYI, di Singapura dan Malaysia pakai sidik jari, di Thailand dan Kamboja pakai sensor wajah) dan kartu (kertas) imigrasi dirobek, sebelah arrival disimpan dan yang departure dihekter (atau dijekrek?) di halaman paspor. Well, ini yang saya nggak suka, soalnya halaman paspor jadi bolong dan estetikanya berkurang (halah...) , selain karena membuat halaman paspor jadi cacat (mode ; drama...).

Keluar loket imigrasi, secara de jure saya sudah resmi masuk Kamboja! Lantas saya dan kenalan tadi digiring (emangnya kambing...) ke bus yang akan membawa kita ke Terminal Poipet. Bus nya gratis, dan saya terkesan dengan kondektur dan supir yang bahasa Inggrisnya jauh lebih baik dari orang Thailand. 15 menit kemudian sampailah kita di terminal yang luas tapi kosong melompong, dan menuju ke loket. Ternyata, gak ada lagi taksi ke sana dan yang tersedia cuma van seharga USD10 sampai ke Siem Reap. Mau lebih murah bisa naik bus, tapi tetap nunggu sampai penuh yang berharga USD9. Yah, 1 dolar doang mendingan pilih yang paling cepat. Janjinya sih, kita diantar sampai penginapan, kenyataannya kemudian, kita malah turun di pool bus dan mesti naik tuk-tuk lagi ke penginapan...*sigh*.

Terminal bus di Poipet yang sepi

Nah, di terminal Poipet saya baru sadar duit saya ternyata dicopet sebanyak USD50 dan THB100...:( Untungnya, (masih bisa bilang untung...dasar orang Indonesia) duit yang ada tinggal THB 200 dan USD55 dan anehnya, tidak semua duit diambil. Ini mungkin pencurinya paham kalau saya bakalan gak pulang kalau semua duit diambil...Dan dengan kejadian ini, semangat saya langsung drop selama perjalanan ke Siem Reap. Ditambah lagi pemandangan yang datar-datar aja, sawah-sawah kering dan beberapa rumah penduduk, membuat nuansa liburan berkurang. Tapi, ya sudah...saya cuma bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Sampai di pool bus 3 jam kemudian, langsung deh kita dikerubungi supir tuk-tuk buat ngantar. Saya dan orang Belanda tadi sepakat sewa 1 tuk-tuk, walaupun kita beda penginapan. Janji di awal , kita bayar USD5 ke supir. Waktu saya mau bayar pakai USD10, si supir bilang gak ada duit kembalian dan saya bilang saya punya THB100. Lah, dia terima aja...padahal THB 100 cuma USD3...ckckck...

Jalanan di Siem Reap


Check in, kemudian saya bersih-bersih...Fiuuhh...dengan segala kejadian yang terjadi, akhirnya sampai juga di Siem Reap, Kamboja...Selamat buat diri saya sendiri...! hehe....

Thursday 30 January 2014

Thailand : Land of Smiles , Land of 7-Eleven

Bukan maksudnya promosi, tapi entah kenapa saya selalu senang kalau lihat di suatu tempat di Thailand ada 7-Eleven nya. Rasanya saya jadi tau kemana kalau mau melarikan diri kalau kelaparan dan 7-Eleven bagaikan oase di tengah gurun (halah...). Banyak perbedaan dengan mini market lokal Indonesia seperti Alfamart dan Indomaret, yang dalam penilaian subjektif saya 7-11 di Thailand ini lebih bagus. Dan ternyata, usut punya usut, Thailand adalah negara dengan populasi 7-11 terbanyak se-Asia Tenggara! Ckck...

source : Google


Bagaimana asal muasalnya saya jatuh cinta dengan 7-11 ini? Sebenarnya dulu waktu di Hat Yai, saya malah cuma 1 kali masuk ke 7-11 karena makanan halal masih banyak plus saya lebih banyak makan di pinggir jalan yang murah. Nah, waktu saya keliling Thailand 5 hari lebih barulah terasa manfaat dan pentingnya 7-11 ini. 7-11 menyediakan nasi yang merupakan makanan pokok utama bangsa kita, saudara-saudara! Kalau di Malaysia , 7-11 biasanya jual nasi lemak dan nasi goreng maka di Thailand pilihannya beragam dan bervariasi, mulai dari daging halal sampai haram, mulai dari makanan biasa aja sampai makanan khas negara-negara lain. Saya sendiri untuk amannya beli nasi+udang atau beli nasi putih aja, gak berani beli yang aneh-aneh. Biasanya, yang ada babinya akan dipajang gambar babi di kemasannya.

Nasi putih berharga 16 baht, dan kalau ada lauknya bervariasi mulai 25 baht sampai 45 baht. Tergolong mahal kalau dibandingkan di Malaysia, tapi ya sudah. Selain itu, kita bisa minta nasi yang dibeli untuk dipanaskan karena nasinya dipajang dalam kulkas. Dan tentu saja, tidak ada biaya tambahan buat memanaskan makanan (kalau ada, keterlaluan...-_-'). Hebatnya lagi, 7-11 ini tersebar di seantero Thailand, bahkan sampai ke Kanchanaburi yang dekat Myanmar sampai saya ke Aranyaprathet yang dekat Kamboja, bahkan di dekat perbatasan Thailand-Malaysia di Sadao langsung disambut beberapa toko 7-11 !

Apa lagi yang buat saya senang ke 7-11? Tentu saja saya yang kelaparan selalu cari camilan yang halal. Maka, setau saya yang jual camilan halal adalah 7-11 karena beberapa produk didatangkan dari Malaysia dan Indonesia. Maka, saya dan teman yang traveling sama-sama selalu 'berburu" logo halal di makanan yang dijual di 7-11. Terserah mau halal MUI-Indonesia, atau JAIS-Malaysia atau Thailand, maka akan segera dibeli. Satu-satunya yang tidak kita cari halal nya waktu beli air mineral. Air mineral 1,5 liter harganya 13 baht. 

Sama seperti minimarket lokal, 7-11 juga menjual produk dan jasa lain seperti majalah, pembelian pulsa dan lain-lain. Dan seperti biasa juga, biasanya kasir akan menawarkan promo produk tertentu yang dalam bahasa Thai...-_-'. Saya cuma bisa bilang "I don't speak Thai" aja kalau si kasir mulai nyerocos ngomong, entah ngasi pemberitahuan atau nanya sesuatu. Tapi, dibalik itu semua, setelah jauh berjalan dan capek, menemukan 7-11 itu sesuatu banget! Percayalah ;)

Monday 27 January 2014

Jalan Darat ke Kamboja via Thailand

Setelah berhari-hari bertualang di Negeri Gajah Putih, pada hari ke ... (lupa, sebentar diingat)... 5 , saya melanjutkan perjalanan ke Kamboja, naik kereta api ke Aranyaprathet, kelas 3 (you know lah, gimana rasanya naik kereta api kelas 3 di Thailand) selama hampir 7 jam ! Di tiket tertulis kita sampai jam 12.50 , kenyataannya kita baru sampai di Aranyaprathet pukul 13.40...ckck...

Pagi hari buta, dari stasiun Hua Lumphong , Bangkok saya bersiap melanjutkan perjalanan ke Kamboja. Harga tiket untuk perjalanan 6 jam lebih ini adalah 48 baht. Murah sekali, tapi lebih  murah kalau kita orang Thai...nggak bayar sepeserpun! Ini saya lihat dari tiket punya orang Thai yang di kolom "price" nya tertulis 0. Nah, karena saya shalat subuh dulu jam 5.30 , maka saya beli tiket pukul 5.40 dan langsung aja si petugas bilang cepat karena kereta mau berangkat. Dengan tergopoh-gopoh dan membawa ransel yang berat, saya ke jalur 6 yang merupakan kereta ke Aranyaprathet (mulai dari sini saya sebut "Aran" aja ya...ribet nulisnya...) dan kereta api berangkat pukul 5.55 , sesuai jadwal.

Stasiun Hua Lumphong


Nah, niatnya saya mau tidur di kereta karena sudah pasti pemandangannya gak jauh beda dengan di Indonesia. Walaupun berusaha untuk tidur, tetap aja saya gak bisa tidur. Entah karena terlalu senang mau ke Kamboja atau memang suara kereta apinya bersik, yang jelas sepanjang perjalanan saya cuma merhatiin sekeliling : memperhatikan orang yang jualan, memperhatikan pemandangan, bahkan memperhatikan pasangan sesama jenis yang duduknya di seberang tempat duduk saya (ini ciri orang bosan dan kurang kerjaan...:D ). Sudah berkali-kali ke toilet, tapi rasanya perjalanan panjang dan lama. Akhirnya, saya pun tertidur setelah 2 jam perjalanan.

Setelah bangun, ternyata perjalanan masih jauh. Tidur, bangun sampai 3 kali tetap juga masih di dalam kereta api. Matahari makin tinggi, pemandangan berubah-ubah dari sawah, ladang, perumahan, sawah, ladang, perumahan, lagi dan terus menerus. Yang unik, bahkan kereta api berhenti di stasiun yang lebih mirip gubuk, yang satu-satunya penanda kalau itu stasiun adalah plang nama stasiun. Mau beli makanan, takut dan malas. Takut karena gak tau apa yang ada di dalam makanan, malas untuk berkomunikasi dengan orang Thai. Setelah sekian lama, akhirnya sampailah saya di stasiun Aran yang merupakan stasiun terakhir. keluar dari stasiun, naik ojek (yang di sana disebut motor tuk-tuk) 60 baht sampai ke perbatasan yang jaraknya 6 km lagi dari stasiun. Sebenarnya ada juga sih naik bus yang biasa dipake buat orang lokal, tapi kelihatannya lama karena nunggu penumpang.

Perbatasan Thailand - Kamboja


Di perbatasan, dari kejauhan sudah kelihatan gerbang yang mirip Angkor Wat, berarti sebentar lagi saya masuk ke Kamboja nih...:D  masuk ke kantor imigrasi Thailand yang antriannya panjang kayak ular naga, karena loket untuk asing hanya 2. Setelah hampir 1 jam menunggu , saat saya sudah mendekati loket tau-tau ada petugas menyuruh untuk masuk antrian di loket imigrasi untuk orang Thai. Hmmppfhh. Sabar aja , mana di dalam AC nya nggak berasa. Setelah cap paspor, keluar dari imigrasi Thailand, kita akan melewati "Friendship Bridge" antara Thailand dan Kamboja. Tapi....Ya Tuhan, bau nya na'udzubillah, seperti bau isi perut ikan yang membusuk bertahun-tahun. Di bawah jembatan ini ada sungai kecil yang isinya sampah. Seumur-umur, inilah tempat paling bau yang saya kunjungi. Setelah jembatan ini, kita akan melihat gerbang masuk Kamboja dengan deretan kasino di kiri kanan dan juga pasar pinggir jalan. Kontras sih, tapi...Selamat Datang di Kamboja ! Akhirnya sampai juga di Kamboja!

Tuesday 21 January 2014

Death Railway dan Kwai River Bridge

Nah...baru deh kita bisa cerita selanjutnya soal dua tempat ini...yang ketinggalan cerita, sebaiknya baca dulu artikel yang ini dan ini .

Replika jembatan di Hellfire Pass Museum

Jembatan asli dari kayu di depan Krasae cave

OK, perjalanan dimulai dari Erawan Waterfalls oleh tour kita, kurang lebih sekitar 1 jam. Di mobil, kita mulai cerita sampai ada yang tidur beneran dan ketiduran, dan akhirnya sampailah kita di suatu bukit tempat Death Railway. Death Railway ini sebenarnya adalah laluan rel kereta api yang sebelumnya dibangun oleh para tahanan dan romusha, masih dipakai oleh SRT (State Railway of Thailand) tapi hanya sampai Nam Tok. Ada beberapa jembatan yang dilalui jalur ini, tapi yang terkenal adalah jembatan kayu di depan Krasae Cave dan juga jembatan besi di atas sungai Kwai yang disebut "Kwai River Bridge."

Gua Krasae


Rel ini , yang merupakan sisa dari rute Hellfire Pass sebelumnya berasal dari besi rel yang didatangkan dari Malaya dan Jawa. Jepang mengangkut rel-rel ini setelah Malaya dan Hindia Timur Belanda jatuh ke tangan Jepang, karena di kedua tempat ini relatif sudah tersedia infrastruktur kereta api saat itu. Tak jauh dari stasiun di sini, kita akan melihat jembatan kayu yang original berasal dari zaman PD II dan di depannya ada gua Krasae. Kata pemandu, di gua ini lah mayat-mayat para tahanan dan romusha dibuang jika gugur. Tak ada upacara yang formal, bahkan sampai-sampai ada patung Budha besar dalam gua untuk mentralisir kekuatan jahat dari arwah penasaran., kata pemandu kita.

Stasiun tunggu buat naik kereta api

Kita dijadwalkan naik kereta api jam 16.00 yang ternyata datang pukul....16.15....Biasa, di Thailand, jadwal kereta api tepat waktu dari stasiun asal, tapi di stasiun berikutnya sampai ke tujuan biasanya telat (mirip di Indonesia juga sih...). Dari dalam kereta api, kita bisa foto-foto pemandangan cantik saat melewati jembatan kayu tadi hingga beberapa ratus meter ke depan. Sisanya, yang kelihatan cuma kebun ubi kayu yang familiar sekali buat orang Indonesia. Kecuali si Pete, teman kita satu tour dari NZ yang baru pertama kali lihat tanaman ubi kayu alias singkong....

Lokomotif kereta api

Sebenarnya, kita salah gerbong juga. Sudah dikasi tau naik gerbong belakang karena gerbong depan sudah penuh anak sekolah, entah bagaimana kita malah naik gerbong depan. Jelas, terjadi kegaduhan apalagi Pete yang bule jadi seperti artis diantara anak-anak sekolah. Kegaduhan terus terjadi sampai kita turun di stasiun entah apa namanya, sekitar 30 menit dari tempat kita naik.Pas turun, ternyata si anak-anak sekolah pada melambai ke kita, terutama ke Pete...yaelah, katrok emang ada dimana-mana...ckck...Dari sini kita lanjut naik van travel ke Kwai River Bridge.

Turis di Kwai River Bridge

Sunset at Kwai River Bridge

Saat di tanya kenapa kita nggak terus aja naik kereta api sampai Kwai River Bridge, Niu, pemandu kita bilang, " It will take 2 hours to arrive in Kwai River Bridge." Oalah...lama bener....padahal naik van cuma 1 jam , emang kenapa ya ? (dan hal ini terjawab saat saya naik kereta api dari Bangkok ke Aranyaprathet dekat perbatasan Kamboja). Ya sudah, sampai di Kwai River Bridge, turis tetap aja banyak. Kita dikasi waktu sampai matahari terbenam sebelum balik ke Guesthouse. Jalan dari ujung ke ujung jembatan, jepret-jepret foto, terus pulang. Kita akhirnya pisah dengan Pete yang katanya ada janji sama pejalan dari NZ buat makan malam, sementara kita bersih-bersih sebelum cari makan di pasar malam...:)

Monday 20 January 2014

Hellfire Pass Museum: Potongan Sejarah Yang Terlupakan - Part 2

Lanjutan dari sini...

Keluar dari museum dari pintu depan, kita langsung ke kiri bangunan untuk turun ke Hellfire Pass nya, yaitu laluan rel kereta api zaman dulu yang dibangun Jepang. turun melewati dek observasi yang berlantai kayu, di setiap titik tertentu ada penjelasan yang hanya dapat diketahui melalui rekaman yang  harus kita sewa di museum. Kita? ya jelas aja kita gak sewa itu alat...soalnya kan menghemat...Hahaha....jadi, kita terus turun dari dek observasi terus ke lereng bukit yang jadi lintasan kereta api zaman dahulu.

Papan keterangan awal

Sisa-sisa jalur kereta api terlihat dari batu-batu kerikil yang berserakan di sisi bukit. Hingga kemudian, sampailah kita ke bagian bukit yang terbelah. Apa yang menarik? Di sini terdapat sisa patahan Drill Compressor yang patah. Bayangkan, kalau mesin saja patah saat membelah batu gunung ini, bagaimana dengan manusia? dan itu dilakukan sepanjang ratusan kilometer sampai ke Myanmar! Di sini keadaan sekitar seperti sendu dan sayu...kalau ada acara uji nyali, tempat ini cocok banget (bercanda...). Di kiri kanan banyak pohon-pohon yang tua dan tinggi-tinggi, seolah menjadi saksi bisu apa yang terjadi di sini di masa lalu.

Sisa Jalur Helfire Pass

Sisa rel di Hellfire Pass

Keluar dari celah bukit yang terbelah, ada semacam prasasti yang berisi peringatan terhadap para korban yang tewas di sini. Jalur selanjutnya ditutup, mungkin karena terlalu bahaya buat dilewati. Dari sini, ada dua pilihan untuk balik ke Museum, pakai jalur tadi yang singkat atau pakai jalur lama. Nah...berhubung saya punya jiwa bolang yang tinggi, saya pun dengan beberapa teman memilih jalur yang lama. Dan....amazing sekali, ternyata anak tangganya curam sekali naik ke atas, dan jalurnya lebih panjang dari yang jalur baru. Kita aja sampai "diledekin" sama kakek-nenek bule waktu sampai puncak bukit dan kita kelelahan. "Well done!" kata si kakek. Beuuhh....

Memorial Stone buat para perwira Australia yang meninggal di sini


Jalur lama ini perlu waktu 45 menit untuk balik ke gedung museum, dengan pohon bambu di kiri-kanannya. Lagi, saya pun berpikir usil kalau tempat ini cocok banget buat tempat uji nyali. Siang aja suasanya syahdu, sunyi dan senyap begitu apalagi kalau malam....pasti....hiiii. Sampai di parkiran, kita makan kuaci sebagai bentuk perayaan melewati jalur yang lama ini, naik turun bukit dan sempat takut kesasar. Perjalanan di museum selesai, kemudian kita singgah ke Sai Yok Noi waterfall sebelum balik ke Kanchanaburi Terminal.

Tuesday 14 January 2014

Hellfire Pass Museum: Potongan Sejarah Yang Terlupakan - Part 1

Sengaja saya dahulukan dengan cerita dari museumnya dulu, walaupun yang saya kunjungi duluan adalah Death Railway dan Kwai River Bridge. Ini karena, ceritanya bakal membingungkan kalau saya mulai duluan dari kedua tempat tersebut. Maka, cerita bermula dari Museum Hellfire pass dulu....



Niat awal sebenarnya mau naik bus lagi ke museum ini, namun setelah diskusi dengan seorang supir tuk-tuk, dapatlah harga 130 baht untuk ke museum ini dan ke Sai Yok Noi Waterfall dalam perjalanan pulang. Perjalanan ditempuh dalam 1 jam, dengan ngebut, berangin kencang, dan suhu di luar masih 17 derajat Celcius! Setengah jam pertama saya masih tahan, setengah jam sisanya saya pakai sarung (soalnya yang saya bawa sarung, bukan jaket....ckck...) dan terus berharap cepat sampai di tujuan. Akhirnya, setelah perjalanan di sekitar pegunungan yang sudah dekat dekat Myanmar (katanya, 1 jam lagi udah sampai ke perbatasan Myanmar) kami tiba di Museum yang dijaga tentara.

Linimasa sejarah PD II

Museumnya sepi dan hening, sampai rombongan turis dari Rusia di belakang kami datang dan grasak-grusuk. Dari pintu masuk, petugas mengarahkan kami ke pemutaran film pendek seputar didirikannya museum ini oleh seorang perwira Australia sebagai penghormatan terhadap korban yang kebanyakan orang Australia di sini. Selanjutnya, petugas akan mengarahkan ke ruang museum yang terdiri dari mini bioskop seputar sejarah Hellfire Pass, diorama dan keterangan gambar.

   
Gambar keadaan tahanan
 Jadi ceritanya, waktu PD II, walaupun Thailand menyatakan dirinya netral, tapi ternyata Jepang menekan pihak Thailand untuk menyatakan perang terhadap sekutu. Setelah jatuhnya Burma (Myanmar) ke tangan Jepang, maka untuk memudahkan pergerakan Jepang ke Teluk Thailand dari Myanmar maka Jepang berinisiatif membuat jalur kereta api, menembus gunung dari Ban Pong, Thailand ke Thabyuzayat di Myanmar. Tahun 1943, jalur kereta api dibangun dan selesai 1 tahun kemudian. Terdengar tidak aneh, tapi sebenarnya 200.000 tenaga manusia dikerahkan untuk membangun jalur ini, kebanyakan tahanan perang dan romusha termasuk yang berasal dari Malaya dan Hindia Timur Belanda. Jadi, kemungkinan nenek moyang Anda juga termasuk membangun jalur ini. 

Tahanan hanya diberi makan 2 kali bahkan kadang 1 kali sehari, dalam keadaan hujan atau panas, melewati gunung yang di musim dingin sangat menusuk (saya aja selalu kedinginan di sini...)

Beberapa alat yang dipakai

Sebagaimana melihat museum begini, hati akan selalu miris dan mengiba melihat keadaan mereka. Banyak yang tak pernah pulang dan mati di sini, di sepanjang jalur rel ini (mirip sama Jalur Pos dari Anyer ke Panarukan) dimakamkan seadanya atau bahkan dibiarkan begitu saja. Terkena Penyakit dan malnutrisi adalah lazim dijumpai, demi tujuan Jepang.

Kotak Donasi berisi berbagai mata uang


Saya kira, orang Indonesia jarang kemari. Ternyata waktu saya cek kotak donasi di atas, ketemu juga ada rupiah lain sebelum saya datang. Artinya, kemungkinan ada orang Indonesia yang pernah datang kemari. Kotak donasi terdiri dari berbagai mata uang, menunjukkan dari mana pengunjung ini berasal. Setelah keliling museum, kita disuruh isi buku tamu dan diarahkan ke luar gedung, ke tempat bekas laluan rel kereta api di belakang museum yang merupakan "hasil karya" para romusha dan tahanan perang....

Bersambung...

Friday 10 January 2014

Erawan Waterfalls , Kanchanaburi, Thailand

Erawan waterfalls adalah air terjun yang terdapat di Taman Nasional Erawan di Kanchanaburi, Thailand. Erawan yang artinya "Tiga Kepala Gajah" berjarak 1 jam perjalanan dari kota Kanchanaburi. Walaupun artinya tiga kepala gajah, toh saya sendiri gak lihat mana yang kepala gajahnya. Mungkin dari atas kali ye...

Papan Tanda Masuk



Erawan - Tiga Kepala Gajah

Niatnya pertama kali mau ke sini naik bus dari terminal Kanchanaburi, tapi setelah berembuk dan bermusyawarah bersama, terutama sebelumnya kita baca kalau tiket masuk ke sini adalah 500 baht (Aje gile...mau liat air terjun aja bayar hampir 200.000! ) maka diputuskan kalau kita ambil paket seharga 790 baht sehari untuk Erawan + Makan siang + Death Railway + Kwai River Bridge yang setelah negoisasi jadi 750 baht, karena kita minta diskon. Saya pikir sih, itu cukup masuk akal, karena 750 baht itu udah tinggal beres, nggak mikir bayar minyak, tip atau tiket masuk. ALL IN.

Sebenarnya, apa yang menarik dari air terjun ini? Bukannya di Indonesia juga banyak air terjun? Menurut saya, ada 3 hal yang menjadi perhatian saya :

1. Air terjun ini bersih

Yap, air terjun yang dikelola pemerintah setempat ini bersih dan terjaga. Bahkan, bagi kita yang membawa botol air mineral plastik diharuskan bayar deposit 20 baht yang digunakan untuk menghindari orang buang botol plastik sembarangan (gak ada tempat sampah juga di taman nasional ini...). Duitnya dibalikin dengan menunjukkan botol yang sama yang kita bawa tadi, yang sudah ditandai oleh pihak pengawas. Karena botol ditandai dengan spidol, pastikan tinta spidolnya gak luntur sebagai bukti kalau kita tadi deposit. Kalau luntur, silakan ikhlaskan 20 baht tadi....

Lupa ada di level berapa air terjun ini...

Yang ini juga lupa di level berapa...


2. Air terjunnya ada 7 tingkat

Selama ini, saya cuma tau air terjun 1 aja dan umumnya tinggi-tinggi. Di Erawan, ada 7 level air terjun dengan sub-air terjun di antara 1 level dengan level lainnya. Air terjun tertinggi ada di level 7 , yang naiknya alhamdulillah bikin capek...:D . Trek berjalan cuma sampai level 6, dari level 6 ke level 7 mesti naik batu, melewati pohon tumbang, aliran air, meliuk-liuk diantara pohon dan tebing , pokoknya perjuangan deh. Masih mending kalau batu dan pohon kecil, lah...ini batunya aja setinggi rumah dan pohonnya udah ratusan tahun! Secara kasat mata, air terjunnya berwarna turqoise, entah karena pengaruh vegetasi di sekitar aliran air terjun atau memang warna alaminya begitu. 

End of Trail di level 7
Dan saya berhasil sampai level 7 ! Horee! Dari 9 orang, hanya 4 orang yang sampai ke level 7 ini. Yang lainnya ada yang capek, ada yang sibuk foto-foto dan yang lainnya sudah mulai malas-malasan buat naik. Mestinya kalau mau kemari, harus latihan dulu minimal naik turun tangga buat latihan...:D

3. Spa Ikan Gratis !

Di dalam aliran antara satu air terjun dengan air terjun lainnya, akan banyak terdapat banyak ikan Garra rufa (ikan yang dipakai untuk fish spa) mulai dari ukuran kecil sampai yang besar. Yang ukuran kecil inilah yang akan datang dan memakan kulit mati jika kita memasukkan anggota tubuh ke dalam air. Kalau yang besar biasanya akan diam aja, tapi lumayan mendekat di sekitar kaki. Ngeri aja kalau yang besar ikutan makan kulit mati, bisa-bisa kulit yang sehat ikut dimakan...hii....Walaupun begitu, saya gak tau persis spesies Garra rufa mana yang ada di sini. Pengen rasanya bawa pulang ini ikan, dipelihara di ruumah ! 

Free Fish Spa !



Pada akhirnya, apakah tempat ini layak dikunjungi? Buat saya pribadi, ini bukan tempat yang harus dikunjungi, tapi bolehlah untuk dilihat. Warna air dan bentuk-bentuk air terjunnya menarik, dan kalau pengen silakan melakukan fish spa atau sekalian berenang di kolam-kolam sepanjang aliran air. Dengan suhu yang 16 derajat Celcius bahkan di waktu siang, tentu saja saya nggak berminat buat mandi di sana, mana nggak bawa pakaian renang. Tapi, bule-bule sepertinya suka banget berenang di sini, mereka santai aja keluyuran pakai baju renang naik turun level-level air terjun dengan suhu begitu. Kebanyakan sih, turisnya dari Rusia yang tau sendiri gimana dinginnya di sana. Jadi, 16 derajat rasanya udah panas buat mereka. 

N.B. : Maaf, gak ada foto mereka berbaju renang, ntar disangka pornoaksi...:p

Saturday 4 January 2014

Sunflower Fields, Lop Buri, Thailand - Part 2

Sambungan dari sebelumnya....


Mbak-mbak yang baik hati ini ternyata mengantar kita ke kebun bunga matahari, ternyata lumayan jauh juga...hehe. Naik mobil aja perlu waktu sekitar 10 menit -15 menit ke dalam, apalagi kalau jalan kaki. Begitu tiba di tujuan, semuanya langsung sibuk dan berpencar dengan kamera masing-masing. Yang lain bawa kamera "betulan" , lah saya cuma bawa kamera saku digital...:p . Semuanya sibuk foto, sampai bingung dan terkagum-kagum melihat hamparan luas bunga matahari !



Selain berfoto, lantas apa yang saya lakukan? Well, saya jelas aja sibuk mencari cara menghangatkan badan. Warung-warung dekat kebun bunga matahari semuanya menjual suvenir bunga matahari, biji bunga matahari untuk ditanam dan biji bunga matahari untuk dimakan alias kuaci. Saya beli juga satu bungkus kecil kuaci 30 baht, yang baru habis 4 hari kemudian, padahal sudah dimakan rame-rame....ckckck....Saya cuma betah foto-foto 30 menit, setelahnya saya melarikan diri ke warung. Lagi, kendala bahasa membuat saya malas nanya ada jual minuman atau nggak. Yang ada malah tambah ribet nanti.

Nggak lama kemudian, datang juga yang lain yang juga udah mulai kelelahan dari acara foto - foto di kebun bunga matahari yang sejauh mata memandang adalah bunga matahari yang bermekaran. Saya jadi teringat game Plant vs Zombie melihat banyaknya bunga matahari di sini, ahahaha.....mulai dari yang kuncup, setengah mekar, mekar sempurna ada semua. Sungguh pemandangan luar biasa, tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Perjalanan penuh perjuangan dengan lost in translation terbayar dengan indah.

Kemudian, datang dua bus yang berisi anak-anak sekolah datang juga. Ini sebenarnya gak terlalu penting, toh soalnya saya juga gak paham mereka ngomong apa dan saya pikir pasti sia-sia aja ngajak ngobrol mereka, asumsi saya pasti mereka nggak bisa bahasa Inggris (asumsi asal dan kejam!). Setelah puas, masalah berikutnya muncul : gimana kembali ke jalan raya utama? jalan kaki?....Eh, ternyata si mbak yang tadi ngantar, dengan baik hati mau mengantar lagi ke jalan utama! Sungguh baik hati, dan saya sungguh merasa bersalah....saya dan teman-teman soalnya gak ada beli apapun suvenir dari warung mbak ini (soalnya mbak ini jualan suvenir replika bunga matahari dari plastik, anting, kalung....jelas aja saya nggak beli) dan ketika sampai jalan, kita yang sudah berinisiatif mau kasih uang aja ternyata ditolak....Sungguh tulus!

Walaupun foto bareng si mbak gagal, karena saya yang juru foto ternyata gak berhasil menangkap gambar tapi secara keseluruhan pemandangan di sini luar biasa! Bunga matahari hanya mekar antara November - Januari, jadi perjalanan kemarin tepat di puncak mekarnya bunga matahari ini. Kita akhirnya kembali ke Lop Buri Station naik tuk-tuk dengan bayar 12 baht, dan pertanyaan yang sama muncul : Where Do You Come From ? dari ibu kondektur tuk-tuk. Saya jawab, saya dari Indonesia dan yang lain dari Malaysia dan si ibu kelihatannya kaget, mungkin gak banyak orang dari Indonesia dan Malaysia ke tempat itu? apalagi naik tuk-tuk. Jam 12.50 kereta api kembali ke Bangkok berangkat, dan kami siap ke Kanchanaburi !

n.b. Maaf fotonya kurang bagus, soalnya cuma pakai kamera hape....