among us

Thursday 30 January 2014

Thailand : Land of Smiles , Land of 7-Eleven

Bukan maksudnya promosi, tapi entah kenapa saya selalu senang kalau lihat di suatu tempat di Thailand ada 7-Eleven nya. Rasanya saya jadi tau kemana kalau mau melarikan diri kalau kelaparan dan 7-Eleven bagaikan oase di tengah gurun (halah...). Banyak perbedaan dengan mini market lokal Indonesia seperti Alfamart dan Indomaret, yang dalam penilaian subjektif saya 7-11 di Thailand ini lebih bagus. Dan ternyata, usut punya usut, Thailand adalah negara dengan populasi 7-11 terbanyak se-Asia Tenggara! Ckck...

source : Google


Bagaimana asal muasalnya saya jatuh cinta dengan 7-11 ini? Sebenarnya dulu waktu di Hat Yai, saya malah cuma 1 kali masuk ke 7-11 karena makanan halal masih banyak plus saya lebih banyak makan di pinggir jalan yang murah. Nah, waktu saya keliling Thailand 5 hari lebih barulah terasa manfaat dan pentingnya 7-11 ini. 7-11 menyediakan nasi yang merupakan makanan pokok utama bangsa kita, saudara-saudara! Kalau di Malaysia , 7-11 biasanya jual nasi lemak dan nasi goreng maka di Thailand pilihannya beragam dan bervariasi, mulai dari daging halal sampai haram, mulai dari makanan biasa aja sampai makanan khas negara-negara lain. Saya sendiri untuk amannya beli nasi+udang atau beli nasi putih aja, gak berani beli yang aneh-aneh. Biasanya, yang ada babinya akan dipajang gambar babi di kemasannya.

Nasi putih berharga 16 baht, dan kalau ada lauknya bervariasi mulai 25 baht sampai 45 baht. Tergolong mahal kalau dibandingkan di Malaysia, tapi ya sudah. Selain itu, kita bisa minta nasi yang dibeli untuk dipanaskan karena nasinya dipajang dalam kulkas. Dan tentu saja, tidak ada biaya tambahan buat memanaskan makanan (kalau ada, keterlaluan...-_-'). Hebatnya lagi, 7-11 ini tersebar di seantero Thailand, bahkan sampai ke Kanchanaburi yang dekat Myanmar sampai saya ke Aranyaprathet yang dekat Kamboja, bahkan di dekat perbatasan Thailand-Malaysia di Sadao langsung disambut beberapa toko 7-11 !

Apa lagi yang buat saya senang ke 7-11? Tentu saja saya yang kelaparan selalu cari camilan yang halal. Maka, setau saya yang jual camilan halal adalah 7-11 karena beberapa produk didatangkan dari Malaysia dan Indonesia. Maka, saya dan teman yang traveling sama-sama selalu 'berburu" logo halal di makanan yang dijual di 7-11. Terserah mau halal MUI-Indonesia, atau JAIS-Malaysia atau Thailand, maka akan segera dibeli. Satu-satunya yang tidak kita cari halal nya waktu beli air mineral. Air mineral 1,5 liter harganya 13 baht. 

Sama seperti minimarket lokal, 7-11 juga menjual produk dan jasa lain seperti majalah, pembelian pulsa dan lain-lain. Dan seperti biasa juga, biasanya kasir akan menawarkan promo produk tertentu yang dalam bahasa Thai...-_-'. Saya cuma bisa bilang "I don't speak Thai" aja kalau si kasir mulai nyerocos ngomong, entah ngasi pemberitahuan atau nanya sesuatu. Tapi, dibalik itu semua, setelah jauh berjalan dan capek, menemukan 7-11 itu sesuatu banget! Percayalah ;)

Monday 27 January 2014

Jalan Darat ke Kamboja via Thailand

Setelah berhari-hari bertualang di Negeri Gajah Putih, pada hari ke ... (lupa, sebentar diingat)... 5 , saya melanjutkan perjalanan ke Kamboja, naik kereta api ke Aranyaprathet, kelas 3 (you know lah, gimana rasanya naik kereta api kelas 3 di Thailand) selama hampir 7 jam ! Di tiket tertulis kita sampai jam 12.50 , kenyataannya kita baru sampai di Aranyaprathet pukul 13.40...ckck...

Pagi hari buta, dari stasiun Hua Lumphong , Bangkok saya bersiap melanjutkan perjalanan ke Kamboja. Harga tiket untuk perjalanan 6 jam lebih ini adalah 48 baht. Murah sekali, tapi lebih  murah kalau kita orang Thai...nggak bayar sepeserpun! Ini saya lihat dari tiket punya orang Thai yang di kolom "price" nya tertulis 0. Nah, karena saya shalat subuh dulu jam 5.30 , maka saya beli tiket pukul 5.40 dan langsung aja si petugas bilang cepat karena kereta mau berangkat. Dengan tergopoh-gopoh dan membawa ransel yang berat, saya ke jalur 6 yang merupakan kereta ke Aranyaprathet (mulai dari sini saya sebut "Aran" aja ya...ribet nulisnya...) dan kereta api berangkat pukul 5.55 , sesuai jadwal.

Stasiun Hua Lumphong


Nah, niatnya saya mau tidur di kereta karena sudah pasti pemandangannya gak jauh beda dengan di Indonesia. Walaupun berusaha untuk tidur, tetap aja saya gak bisa tidur. Entah karena terlalu senang mau ke Kamboja atau memang suara kereta apinya bersik, yang jelas sepanjang perjalanan saya cuma merhatiin sekeliling : memperhatikan orang yang jualan, memperhatikan pemandangan, bahkan memperhatikan pasangan sesama jenis yang duduknya di seberang tempat duduk saya (ini ciri orang bosan dan kurang kerjaan...:D ). Sudah berkali-kali ke toilet, tapi rasanya perjalanan panjang dan lama. Akhirnya, saya pun tertidur setelah 2 jam perjalanan.

Setelah bangun, ternyata perjalanan masih jauh. Tidur, bangun sampai 3 kali tetap juga masih di dalam kereta api. Matahari makin tinggi, pemandangan berubah-ubah dari sawah, ladang, perumahan, sawah, ladang, perumahan, lagi dan terus menerus. Yang unik, bahkan kereta api berhenti di stasiun yang lebih mirip gubuk, yang satu-satunya penanda kalau itu stasiun adalah plang nama stasiun. Mau beli makanan, takut dan malas. Takut karena gak tau apa yang ada di dalam makanan, malas untuk berkomunikasi dengan orang Thai. Setelah sekian lama, akhirnya sampailah saya di stasiun Aran yang merupakan stasiun terakhir. keluar dari stasiun, naik ojek (yang di sana disebut motor tuk-tuk) 60 baht sampai ke perbatasan yang jaraknya 6 km lagi dari stasiun. Sebenarnya ada juga sih naik bus yang biasa dipake buat orang lokal, tapi kelihatannya lama karena nunggu penumpang.

Perbatasan Thailand - Kamboja


Di perbatasan, dari kejauhan sudah kelihatan gerbang yang mirip Angkor Wat, berarti sebentar lagi saya masuk ke Kamboja nih...:D  masuk ke kantor imigrasi Thailand yang antriannya panjang kayak ular naga, karena loket untuk asing hanya 2. Setelah hampir 1 jam menunggu , saat saya sudah mendekati loket tau-tau ada petugas menyuruh untuk masuk antrian di loket imigrasi untuk orang Thai. Hmmppfhh. Sabar aja , mana di dalam AC nya nggak berasa. Setelah cap paspor, keluar dari imigrasi Thailand, kita akan melewati "Friendship Bridge" antara Thailand dan Kamboja. Tapi....Ya Tuhan, bau nya na'udzubillah, seperti bau isi perut ikan yang membusuk bertahun-tahun. Di bawah jembatan ini ada sungai kecil yang isinya sampah. Seumur-umur, inilah tempat paling bau yang saya kunjungi. Setelah jembatan ini, kita akan melihat gerbang masuk Kamboja dengan deretan kasino di kiri kanan dan juga pasar pinggir jalan. Kontras sih, tapi...Selamat Datang di Kamboja ! Akhirnya sampai juga di Kamboja!

Tuesday 21 January 2014

Death Railway dan Kwai River Bridge

Nah...baru deh kita bisa cerita selanjutnya soal dua tempat ini...yang ketinggalan cerita, sebaiknya baca dulu artikel yang ini dan ini .

Replika jembatan di Hellfire Pass Museum

Jembatan asli dari kayu di depan Krasae cave

OK, perjalanan dimulai dari Erawan Waterfalls oleh tour kita, kurang lebih sekitar 1 jam. Di mobil, kita mulai cerita sampai ada yang tidur beneran dan ketiduran, dan akhirnya sampailah kita di suatu bukit tempat Death Railway. Death Railway ini sebenarnya adalah laluan rel kereta api yang sebelumnya dibangun oleh para tahanan dan romusha, masih dipakai oleh SRT (State Railway of Thailand) tapi hanya sampai Nam Tok. Ada beberapa jembatan yang dilalui jalur ini, tapi yang terkenal adalah jembatan kayu di depan Krasae Cave dan juga jembatan besi di atas sungai Kwai yang disebut "Kwai River Bridge."

Gua Krasae


Rel ini , yang merupakan sisa dari rute Hellfire Pass sebelumnya berasal dari besi rel yang didatangkan dari Malaya dan Jawa. Jepang mengangkut rel-rel ini setelah Malaya dan Hindia Timur Belanda jatuh ke tangan Jepang, karena di kedua tempat ini relatif sudah tersedia infrastruktur kereta api saat itu. Tak jauh dari stasiun di sini, kita akan melihat jembatan kayu yang original berasal dari zaman PD II dan di depannya ada gua Krasae. Kata pemandu, di gua ini lah mayat-mayat para tahanan dan romusha dibuang jika gugur. Tak ada upacara yang formal, bahkan sampai-sampai ada patung Budha besar dalam gua untuk mentralisir kekuatan jahat dari arwah penasaran., kata pemandu kita.

Stasiun tunggu buat naik kereta api

Kita dijadwalkan naik kereta api jam 16.00 yang ternyata datang pukul....16.15....Biasa, di Thailand, jadwal kereta api tepat waktu dari stasiun asal, tapi di stasiun berikutnya sampai ke tujuan biasanya telat (mirip di Indonesia juga sih...). Dari dalam kereta api, kita bisa foto-foto pemandangan cantik saat melewati jembatan kayu tadi hingga beberapa ratus meter ke depan. Sisanya, yang kelihatan cuma kebun ubi kayu yang familiar sekali buat orang Indonesia. Kecuali si Pete, teman kita satu tour dari NZ yang baru pertama kali lihat tanaman ubi kayu alias singkong....

Lokomotif kereta api

Sebenarnya, kita salah gerbong juga. Sudah dikasi tau naik gerbong belakang karena gerbong depan sudah penuh anak sekolah, entah bagaimana kita malah naik gerbong depan. Jelas, terjadi kegaduhan apalagi Pete yang bule jadi seperti artis diantara anak-anak sekolah. Kegaduhan terus terjadi sampai kita turun di stasiun entah apa namanya, sekitar 30 menit dari tempat kita naik.Pas turun, ternyata si anak-anak sekolah pada melambai ke kita, terutama ke Pete...yaelah, katrok emang ada dimana-mana...ckck...Dari sini kita lanjut naik van travel ke Kwai River Bridge.

Turis di Kwai River Bridge

Sunset at Kwai River Bridge

Saat di tanya kenapa kita nggak terus aja naik kereta api sampai Kwai River Bridge, Niu, pemandu kita bilang, " It will take 2 hours to arrive in Kwai River Bridge." Oalah...lama bener....padahal naik van cuma 1 jam , emang kenapa ya ? (dan hal ini terjawab saat saya naik kereta api dari Bangkok ke Aranyaprathet dekat perbatasan Kamboja). Ya sudah, sampai di Kwai River Bridge, turis tetap aja banyak. Kita dikasi waktu sampai matahari terbenam sebelum balik ke Guesthouse. Jalan dari ujung ke ujung jembatan, jepret-jepret foto, terus pulang. Kita akhirnya pisah dengan Pete yang katanya ada janji sama pejalan dari NZ buat makan malam, sementara kita bersih-bersih sebelum cari makan di pasar malam...:)

Monday 20 January 2014

Hellfire Pass Museum: Potongan Sejarah Yang Terlupakan - Part 2

Lanjutan dari sini...

Keluar dari museum dari pintu depan, kita langsung ke kiri bangunan untuk turun ke Hellfire Pass nya, yaitu laluan rel kereta api zaman dulu yang dibangun Jepang. turun melewati dek observasi yang berlantai kayu, di setiap titik tertentu ada penjelasan yang hanya dapat diketahui melalui rekaman yang  harus kita sewa di museum. Kita? ya jelas aja kita gak sewa itu alat...soalnya kan menghemat...Hahaha....jadi, kita terus turun dari dek observasi terus ke lereng bukit yang jadi lintasan kereta api zaman dahulu.

Papan keterangan awal

Sisa-sisa jalur kereta api terlihat dari batu-batu kerikil yang berserakan di sisi bukit. Hingga kemudian, sampailah kita ke bagian bukit yang terbelah. Apa yang menarik? Di sini terdapat sisa patahan Drill Compressor yang patah. Bayangkan, kalau mesin saja patah saat membelah batu gunung ini, bagaimana dengan manusia? dan itu dilakukan sepanjang ratusan kilometer sampai ke Myanmar! Di sini keadaan sekitar seperti sendu dan sayu...kalau ada acara uji nyali, tempat ini cocok banget (bercanda...). Di kiri kanan banyak pohon-pohon yang tua dan tinggi-tinggi, seolah menjadi saksi bisu apa yang terjadi di sini di masa lalu.

Sisa Jalur Helfire Pass

Sisa rel di Hellfire Pass

Keluar dari celah bukit yang terbelah, ada semacam prasasti yang berisi peringatan terhadap para korban yang tewas di sini. Jalur selanjutnya ditutup, mungkin karena terlalu bahaya buat dilewati. Dari sini, ada dua pilihan untuk balik ke Museum, pakai jalur tadi yang singkat atau pakai jalur lama. Nah...berhubung saya punya jiwa bolang yang tinggi, saya pun dengan beberapa teman memilih jalur yang lama. Dan....amazing sekali, ternyata anak tangganya curam sekali naik ke atas, dan jalurnya lebih panjang dari yang jalur baru. Kita aja sampai "diledekin" sama kakek-nenek bule waktu sampai puncak bukit dan kita kelelahan. "Well done!" kata si kakek. Beuuhh....

Memorial Stone buat para perwira Australia yang meninggal di sini


Jalur lama ini perlu waktu 45 menit untuk balik ke gedung museum, dengan pohon bambu di kiri-kanannya. Lagi, saya pun berpikir usil kalau tempat ini cocok banget buat tempat uji nyali. Siang aja suasanya syahdu, sunyi dan senyap begitu apalagi kalau malam....pasti....hiiii. Sampai di parkiran, kita makan kuaci sebagai bentuk perayaan melewati jalur yang lama ini, naik turun bukit dan sempat takut kesasar. Perjalanan di museum selesai, kemudian kita singgah ke Sai Yok Noi waterfall sebelum balik ke Kanchanaburi Terminal.

Tuesday 14 January 2014

Hellfire Pass Museum: Potongan Sejarah Yang Terlupakan - Part 1

Sengaja saya dahulukan dengan cerita dari museumnya dulu, walaupun yang saya kunjungi duluan adalah Death Railway dan Kwai River Bridge. Ini karena, ceritanya bakal membingungkan kalau saya mulai duluan dari kedua tempat tersebut. Maka, cerita bermula dari Museum Hellfire pass dulu....



Niat awal sebenarnya mau naik bus lagi ke museum ini, namun setelah diskusi dengan seorang supir tuk-tuk, dapatlah harga 130 baht untuk ke museum ini dan ke Sai Yok Noi Waterfall dalam perjalanan pulang. Perjalanan ditempuh dalam 1 jam, dengan ngebut, berangin kencang, dan suhu di luar masih 17 derajat Celcius! Setengah jam pertama saya masih tahan, setengah jam sisanya saya pakai sarung (soalnya yang saya bawa sarung, bukan jaket....ckck...) dan terus berharap cepat sampai di tujuan. Akhirnya, setelah perjalanan di sekitar pegunungan yang sudah dekat dekat Myanmar (katanya, 1 jam lagi udah sampai ke perbatasan Myanmar) kami tiba di Museum yang dijaga tentara.

Linimasa sejarah PD II

Museumnya sepi dan hening, sampai rombongan turis dari Rusia di belakang kami datang dan grasak-grusuk. Dari pintu masuk, petugas mengarahkan kami ke pemutaran film pendek seputar didirikannya museum ini oleh seorang perwira Australia sebagai penghormatan terhadap korban yang kebanyakan orang Australia di sini. Selanjutnya, petugas akan mengarahkan ke ruang museum yang terdiri dari mini bioskop seputar sejarah Hellfire Pass, diorama dan keterangan gambar.

   
Gambar keadaan tahanan
 Jadi ceritanya, waktu PD II, walaupun Thailand menyatakan dirinya netral, tapi ternyata Jepang menekan pihak Thailand untuk menyatakan perang terhadap sekutu. Setelah jatuhnya Burma (Myanmar) ke tangan Jepang, maka untuk memudahkan pergerakan Jepang ke Teluk Thailand dari Myanmar maka Jepang berinisiatif membuat jalur kereta api, menembus gunung dari Ban Pong, Thailand ke Thabyuzayat di Myanmar. Tahun 1943, jalur kereta api dibangun dan selesai 1 tahun kemudian. Terdengar tidak aneh, tapi sebenarnya 200.000 tenaga manusia dikerahkan untuk membangun jalur ini, kebanyakan tahanan perang dan romusha termasuk yang berasal dari Malaya dan Hindia Timur Belanda. Jadi, kemungkinan nenek moyang Anda juga termasuk membangun jalur ini. 

Tahanan hanya diberi makan 2 kali bahkan kadang 1 kali sehari, dalam keadaan hujan atau panas, melewati gunung yang di musim dingin sangat menusuk (saya aja selalu kedinginan di sini...)

Beberapa alat yang dipakai

Sebagaimana melihat museum begini, hati akan selalu miris dan mengiba melihat keadaan mereka. Banyak yang tak pernah pulang dan mati di sini, di sepanjang jalur rel ini (mirip sama Jalur Pos dari Anyer ke Panarukan) dimakamkan seadanya atau bahkan dibiarkan begitu saja. Terkena Penyakit dan malnutrisi adalah lazim dijumpai, demi tujuan Jepang.

Kotak Donasi berisi berbagai mata uang


Saya kira, orang Indonesia jarang kemari. Ternyata waktu saya cek kotak donasi di atas, ketemu juga ada rupiah lain sebelum saya datang. Artinya, kemungkinan ada orang Indonesia yang pernah datang kemari. Kotak donasi terdiri dari berbagai mata uang, menunjukkan dari mana pengunjung ini berasal. Setelah keliling museum, kita disuruh isi buku tamu dan diarahkan ke luar gedung, ke tempat bekas laluan rel kereta api di belakang museum yang merupakan "hasil karya" para romusha dan tahanan perang....

Bersambung...

Friday 10 January 2014

Erawan Waterfalls , Kanchanaburi, Thailand

Erawan waterfalls adalah air terjun yang terdapat di Taman Nasional Erawan di Kanchanaburi, Thailand. Erawan yang artinya "Tiga Kepala Gajah" berjarak 1 jam perjalanan dari kota Kanchanaburi. Walaupun artinya tiga kepala gajah, toh saya sendiri gak lihat mana yang kepala gajahnya. Mungkin dari atas kali ye...

Papan Tanda Masuk



Erawan - Tiga Kepala Gajah

Niatnya pertama kali mau ke sini naik bus dari terminal Kanchanaburi, tapi setelah berembuk dan bermusyawarah bersama, terutama sebelumnya kita baca kalau tiket masuk ke sini adalah 500 baht (Aje gile...mau liat air terjun aja bayar hampir 200.000! ) maka diputuskan kalau kita ambil paket seharga 790 baht sehari untuk Erawan + Makan siang + Death Railway + Kwai River Bridge yang setelah negoisasi jadi 750 baht, karena kita minta diskon. Saya pikir sih, itu cukup masuk akal, karena 750 baht itu udah tinggal beres, nggak mikir bayar minyak, tip atau tiket masuk. ALL IN.

Sebenarnya, apa yang menarik dari air terjun ini? Bukannya di Indonesia juga banyak air terjun? Menurut saya, ada 3 hal yang menjadi perhatian saya :

1. Air terjun ini bersih

Yap, air terjun yang dikelola pemerintah setempat ini bersih dan terjaga. Bahkan, bagi kita yang membawa botol air mineral plastik diharuskan bayar deposit 20 baht yang digunakan untuk menghindari orang buang botol plastik sembarangan (gak ada tempat sampah juga di taman nasional ini...). Duitnya dibalikin dengan menunjukkan botol yang sama yang kita bawa tadi, yang sudah ditandai oleh pihak pengawas. Karena botol ditandai dengan spidol, pastikan tinta spidolnya gak luntur sebagai bukti kalau kita tadi deposit. Kalau luntur, silakan ikhlaskan 20 baht tadi....

Lupa ada di level berapa air terjun ini...

Yang ini juga lupa di level berapa...


2. Air terjunnya ada 7 tingkat

Selama ini, saya cuma tau air terjun 1 aja dan umumnya tinggi-tinggi. Di Erawan, ada 7 level air terjun dengan sub-air terjun di antara 1 level dengan level lainnya. Air terjun tertinggi ada di level 7 , yang naiknya alhamdulillah bikin capek...:D . Trek berjalan cuma sampai level 6, dari level 6 ke level 7 mesti naik batu, melewati pohon tumbang, aliran air, meliuk-liuk diantara pohon dan tebing , pokoknya perjuangan deh. Masih mending kalau batu dan pohon kecil, lah...ini batunya aja setinggi rumah dan pohonnya udah ratusan tahun! Secara kasat mata, air terjunnya berwarna turqoise, entah karena pengaruh vegetasi di sekitar aliran air terjun atau memang warna alaminya begitu. 

End of Trail di level 7
Dan saya berhasil sampai level 7 ! Horee! Dari 9 orang, hanya 4 orang yang sampai ke level 7 ini. Yang lainnya ada yang capek, ada yang sibuk foto-foto dan yang lainnya sudah mulai malas-malasan buat naik. Mestinya kalau mau kemari, harus latihan dulu minimal naik turun tangga buat latihan...:D

3. Spa Ikan Gratis !

Di dalam aliran antara satu air terjun dengan air terjun lainnya, akan banyak terdapat banyak ikan Garra rufa (ikan yang dipakai untuk fish spa) mulai dari ukuran kecil sampai yang besar. Yang ukuran kecil inilah yang akan datang dan memakan kulit mati jika kita memasukkan anggota tubuh ke dalam air. Kalau yang besar biasanya akan diam aja, tapi lumayan mendekat di sekitar kaki. Ngeri aja kalau yang besar ikutan makan kulit mati, bisa-bisa kulit yang sehat ikut dimakan...hii....Walaupun begitu, saya gak tau persis spesies Garra rufa mana yang ada di sini. Pengen rasanya bawa pulang ini ikan, dipelihara di ruumah ! 

Free Fish Spa !



Pada akhirnya, apakah tempat ini layak dikunjungi? Buat saya pribadi, ini bukan tempat yang harus dikunjungi, tapi bolehlah untuk dilihat. Warna air dan bentuk-bentuk air terjunnya menarik, dan kalau pengen silakan melakukan fish spa atau sekalian berenang di kolam-kolam sepanjang aliran air. Dengan suhu yang 16 derajat Celcius bahkan di waktu siang, tentu saja saya nggak berminat buat mandi di sana, mana nggak bawa pakaian renang. Tapi, bule-bule sepertinya suka banget berenang di sini, mereka santai aja keluyuran pakai baju renang naik turun level-level air terjun dengan suhu begitu. Kebanyakan sih, turisnya dari Rusia yang tau sendiri gimana dinginnya di sana. Jadi, 16 derajat rasanya udah panas buat mereka. 

N.B. : Maaf, gak ada foto mereka berbaju renang, ntar disangka pornoaksi...:p

Saturday 4 January 2014

Sunflower Fields, Lop Buri, Thailand - Part 2

Sambungan dari sebelumnya....


Mbak-mbak yang baik hati ini ternyata mengantar kita ke kebun bunga matahari, ternyata lumayan jauh juga...hehe. Naik mobil aja perlu waktu sekitar 10 menit -15 menit ke dalam, apalagi kalau jalan kaki. Begitu tiba di tujuan, semuanya langsung sibuk dan berpencar dengan kamera masing-masing. Yang lain bawa kamera "betulan" , lah saya cuma bawa kamera saku digital...:p . Semuanya sibuk foto, sampai bingung dan terkagum-kagum melihat hamparan luas bunga matahari !



Selain berfoto, lantas apa yang saya lakukan? Well, saya jelas aja sibuk mencari cara menghangatkan badan. Warung-warung dekat kebun bunga matahari semuanya menjual suvenir bunga matahari, biji bunga matahari untuk ditanam dan biji bunga matahari untuk dimakan alias kuaci. Saya beli juga satu bungkus kecil kuaci 30 baht, yang baru habis 4 hari kemudian, padahal sudah dimakan rame-rame....ckckck....Saya cuma betah foto-foto 30 menit, setelahnya saya melarikan diri ke warung. Lagi, kendala bahasa membuat saya malas nanya ada jual minuman atau nggak. Yang ada malah tambah ribet nanti.

Nggak lama kemudian, datang juga yang lain yang juga udah mulai kelelahan dari acara foto - foto di kebun bunga matahari yang sejauh mata memandang adalah bunga matahari yang bermekaran. Saya jadi teringat game Plant vs Zombie melihat banyaknya bunga matahari di sini, ahahaha.....mulai dari yang kuncup, setengah mekar, mekar sempurna ada semua. Sungguh pemandangan luar biasa, tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Perjalanan penuh perjuangan dengan lost in translation terbayar dengan indah.

Kemudian, datang dua bus yang berisi anak-anak sekolah datang juga. Ini sebenarnya gak terlalu penting, toh soalnya saya juga gak paham mereka ngomong apa dan saya pikir pasti sia-sia aja ngajak ngobrol mereka, asumsi saya pasti mereka nggak bisa bahasa Inggris (asumsi asal dan kejam!). Setelah puas, masalah berikutnya muncul : gimana kembali ke jalan raya utama? jalan kaki?....Eh, ternyata si mbak yang tadi ngantar, dengan baik hati mau mengantar lagi ke jalan utama! Sungguh baik hati, dan saya sungguh merasa bersalah....saya dan teman-teman soalnya gak ada beli apapun suvenir dari warung mbak ini (soalnya mbak ini jualan suvenir replika bunga matahari dari plastik, anting, kalung....jelas aja saya nggak beli) dan ketika sampai jalan, kita yang sudah berinisiatif mau kasih uang aja ternyata ditolak....Sungguh tulus!

Walaupun foto bareng si mbak gagal, karena saya yang juru foto ternyata gak berhasil menangkap gambar tapi secara keseluruhan pemandangan di sini luar biasa! Bunga matahari hanya mekar antara November - Januari, jadi perjalanan kemarin tepat di puncak mekarnya bunga matahari ini. Kita akhirnya kembali ke Lop Buri Station naik tuk-tuk dengan bayar 12 baht, dan pertanyaan yang sama muncul : Where Do You Come From ? dari ibu kondektur tuk-tuk. Saya jawab, saya dari Indonesia dan yang lain dari Malaysia dan si ibu kelihatannya kaget, mungkin gak banyak orang dari Indonesia dan Malaysia ke tempat itu? apalagi naik tuk-tuk. Jam 12.50 kereta api kembali ke Bangkok berangkat, dan kami siap ke Kanchanaburi !

n.b. Maaf fotonya kurang bagus, soalnya cuma pakai kamera hape....