among us

Tuesday 18 February 2014

Where Do You Come From?

Yap...itulah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya waktu saya di Thailand dan Kamboja. Biasanya, sebelum pertanyaan tersebut dilontarkan, yang bertanya akan menatap saya lekat-lekat, seakan saya buronan dalam DPO dan menunjukkan mimik wajah yang serius. Bedanya, di Thailand lebih cenderung tatapan yang tajam dibanding ngomong, soalnya pas mereka mulai ngomong, saya langsung bilang "Sorry, I don't speak Thai" dan langsung diam. Tapi, lebih seringnya, udah dibilang begitu tetap aja saya diajak ngomong dan si pembicara nyerocos...ya udah, saya liat depan aja dan anggap gak ada. Terserah dia anggap sombong, toh kalau nggak ngerti masa' harus dipaksa...? :D

Angkor Wat


Nah, di Kamboja, mulai dari perbatasan sampai saya balik ke Thailand lagi, begitu ngobrol langsung deh orang Kamboja nanya saya pertanyaan itu. Mungkin dia heran kali, kok ada orang Kamboja (secara, orang Thai kulitnya cenderung lebih cerah) sok-sok an gak mau ngomong dalam bahasa Khmer, bayar makanan pake dollar dan jadi turis. Setelah saya jawab dari Indonesia, tebak apa respon yang kemudian keluar ? Mereka bakal bilang ," Ah...your face same with Cambodians". Ya iyalah....emangnya se Asia Tenggara Raya ini nenek moyangnya beda? Saya sih cuma senyum aja dengar jawaban begitu...sambil mikir, mungkin jarang Indonesia yang kemari, atau saya yang mukanya pasaran banget ya, mirip orang Kamboja ? :p

Dibanding orang Thailand tengah (Bangkok dan sekitarnya), orang Kamboja figur wajahnya lebih mirip orang Indonesia, bahkan saya pikir banyak yang mirip mas-mas dan mbak-mbak...no offense loh. Nah, saya yang mukanya Indonesia sekali, sangat wajar dicurigai sebagai penduduk lokal dan wajar ditanya begituan. Tapi, kan capek juga ditanya begitu terus-terusan. Untungnya, entah kenapa, saya bisa masuk ke Angkor Wat gratis, gak bayar USD 20 padahal saya sendiri waktu itu. Ceritanya, saya kan nggak tau di mana loket buat beli tiket, jadi main masuk aja ke dalam. Nggak ada petugas yang curiga, mungkin dikiranya orang lokal kali. :D


Yang bikin frustasi, jelas waktu di Thailand. Orang Thailand sedikit sekali yang tau Bahasa Inggris, bahkan yang dasar kayak angka-angka. Pertama kali, saya mungkin maklum karena setiap nanya jalan sama tukang parkir atau kondektur atau orang jualan di pinggir jalan. Tapi, lama-lama jadi stress karena hanya sedikit sekali yang bisa bahasa Inggris, bahkan polisi turis sekalipun. Jadi, buat apa ada polisi turis akalu nggak bisa bantu turis? Au ah, gelap....Kalaupun bisa, pasti saya harus dengar baik-baik, soalnya kebiasaannya adalah ada huruf-huruf yang tertukar, atau tak terdengar, misalnya f,v akan jadi w atau b jadi p. 

Dibalik semua itu, ekspresi wajah mereka saat saya bilang dari Indonesia yang paling tak terlupakan. Campuran antara takjub, heran dan senang. Bahkan supir tuk-tuk di Kanchanaburi langsung bilang "football" saat saya sebut Indonesia, soalnya malam itu ada pertandingan Indonesia lawan Thailand. :D

Wednesday 12 February 2014

Edisi Makanan di Thailand - Kamboja

Selain jalan-jalan tak tentu arah dan menjelajah tempat-tempat menarik di kedua negara, tetap wisata kuliner dijalankan. Walaupun pilihan terbatas karena nggak berani coba yang aneh-aneh, beberapa jenis makanan sempat dicoba dan dirasa di kedua negara ini. Mau tau apa aja? Ini dia....

1. Kaeng Som

Ceritanya, teman saya yang asli orang Thai di Bangkok ngajak saya buat makan di daerah Chao Praya Riverside di sekitaran pasar Pak Khlong (Thai : Pak Khlong Talat). Nah...saat ditawari mau makan apa, saya cuma bilang apa makanan khas dan unik yang ada di sini? (Dengan gaya sombong, padahal duit tinggal THB160...haha...) Maka, dia menawarkan untuk mencicip Kaeng Som ini.

Apa menariknya? kata si teman, ini mirip Tom Yam, bedanya Tom Yam itu biasanya untuk anak-anak dan turis doang (uugghh...menohok sekali ke jantung!), sedangkan orang Thai lebih suka Kaeng Som karena lebih "spicy" dan pedas. Buat saya pribadi nilai kepedasan Kaeng Som ini 8/10, cukup pedas bahkan untuk lidah orang yang terbiasa pedas. 

Kaeng Som, atau disebut juga Thai curry terdiri dari bumbu khas Thai, terutama cha om (Senegalia pennata). Untuk amannya, saya pesan yang Kaeng Som udang.

Kaeng Som udang

2.Fried Basil with Shrimp

Terjemahan mudahnya : Nasi + basil goreng dan udang. Apa itu basil? tanaman basil banyak dipakai di Thailand dan negara Indochina buat bumbu ataupun dimakan langsung. Daunnya mirip sama daun kemangi, tapi lebih banyak bulunya 9jangan pikir yang aneh-aneh...).

Di menu yang ini, teman saya merekomendasikan ini, soalnya basil jarang-jarang dimakan di luar Thailand dan orang Thai suka sekali dengan basil ini, bahkan dalam telur dadar lebih umum pakai basil dibanding seledri. Dengan ditambah udang yang besar dan telur mata sapi, dan pemandangan sungai Chao Praya, indah sekali makan di sini. 

Fried Basil with Shrimp


Berapa harga makanannya? Saya lupa, soalnya saya gak bayar...:D (jiwa gratisan....) yang bayar teman saya yang di Bangkok. Kalau gak salah sekitar THB 100 - THB 150 buat masing-masing.

Lanjut ke Kamboja, yang paling terkenal adalah Amok...

3. Amok

Ada beberapa jenis amok, di antaranya yang dikukus dalam daun pisang ataupun yang kayak kuah soto. Nah, saya pilih yang mirip kuah soto, kalau dibilang mirip dengan soto Medan. Lagi, demi amannya saya pilih Vegetarian Amok soalnya pilihannya hanya ada 4 : vegetarian, chicken, pork atau beef. Nggak ada pilihan ikan...:( Dengan harga USD 2, amok disajikan lengkap dengan nasi. Amok yang datang juga gak tanggung, sebesar mangkok ramen. Rasanya? saya kasih nilai 5/10 soalnya saya rasa bumbunya kurang terasa dan malah gak khas negara luar, malah rasanya mirip soto. Walaupun begitu, tetap saya rekomendasikan makanan ini buat dicoba, beda lidah beda selera...:)

Vegetarian Amok


Dari semuanya, saya suka yang Kaeng Som. Rasa bumbunya paling khas dan pedasnya menyegarkan karena ada asam-asamnya khas masakan Thailand. Nggak semua tempat jual ini, jadi silakan berburu makanan ini di tempat-tempat dekat pasar dan 'blusukan' di sana. Lebih direkomendasikan kalau punya teman orang Thai biar lebih mudah nyarinya...:)

Friday 7 February 2014

Siem Reap di Malam Natal

Tepat pada malam Natal 2013 kemarin, saya sedang berada di Siem Reap, Kamboja. Apa yang saya perhatikan? Jelas saja bagaimana suasana di Siem Reap, apakah rame atau nggak. Dan ternyata...Suasana di sana rame! tapi hanya di kawasan turis di Old Market, Pub Street, dan Night Market. Sisanya, seperti kebanyakan tempat lain, sepi....

Menuju Pub Street

Kafe dan tempat makan di sekitar kawasan itu rame luar biasa, dari berbagai turis dari berbagai negara. Saya? Well...saya menikmati malam Natal dengan melakukan jalan-jalan di kawasan area tersebut, lalu pijat seharga USD 2 untuk setengah jam dan terakhir beli crepes USD 1. Oh ya...urusan suvenir juga ada di kawasan ini. Baju kaos mulai USD 2 dan tempelan magnet kulkas USD 2 untuk 3-4 biji. Yang lain? Secara jujur, saya gak nemu barang "Made in Cambodia" di mini market di Siem Reap, malahan produknya kebanyakan impor dari Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Btw, untuk pijat, kebanyakan terkonsentrasi di Night Market Area. Harganya bervariasi mulai termurah USD 1 sampai termahal USD 10. Pijat yang bener loh ini, bukan pijat yang plus-plus (walaupun saya gak tau juga apa ada atau nggak...mungkin ada kali ye..:p ). Dan semua tukang pijatnya adalah cewek-cewek yang masih muda, hehe....Karena saya cuma ambil yang USD 2, maka pijatnya cuma di sekitaran telapak kaki doang dan...penutupnya dengan pijat di paha. Saya aja hampir kaget soalnya si mbak pijat naik ke atas kursi dan memijat paha saya! Untung tidak terjadi apa-apa...(kalau kejadian....wah....)

Suvenir terkonsentrasi di area Old Market, yang semuanya buka sampai malam. Entah kenapa, rasanya kualitas tempelan kulkasnya kurang bagus, soalnya magnetnya lepas dari keramik nya saat saya pulang ke Indonesia. Tersedia juga orang jualan kaos, kartu pos, patung-patung dan lain-lain. Murah? Entahlah...untuk ukuran saya sih, harga segitu "cukup" murah. Tapi nggak tau deh buat orang Kamboja sendiri, soalnya waktu saya pulang saya tanya-tanya orang Kamboja soal kehidupan di sana dan gajinya paling tinggi untuk sarjana sekitar USD 170.

Sekitar Night Market


Nah, berhubung saya takut-takut mau makan, pulangnya saya coba makan crepes yang menurut saya mahal...:(. Crepes tawar dengan taburan gula USD 1, dan cuma itu yang saya berani beli. Si mbak penjual ternyata dari Chiang Mai, Thailand dan seperti biasa, saya selalu diliatin. "Diantara turis bule, kok bisa ada orang Kamboja yang beli ?" gitu kali dia mikir. Saya langsung aja tanya ada apa, dan pertanyaan umum keluar, "Where do you come from? " dan saya jawab Indonesia. Pokoknya, setiap ketemu orang di sana seolah semuanya pada heran liat saya. Apa orang Indonesia jarang ke sana?

Selebihnya, tidak ada perayaan berarti di luar kawasan itu. Guesthouse tempat saya aja biasa-biasa aja pas malam Natal, gak ada hingar bingar apapun. Jadi, sungguh kesempatan berharga melihat suasana Natal di kawasan itu, di tengah negara yang mayoritas beragama Buddha.

Monday 3 February 2014

Liburan di Tengah Demo

Yang jelas, ini bukan acara demo masak...:p . Sejak November, kita sekumpulan backpacker sudah tau ada demo di Thailand dan tidak ambil pusing karena sejauh ini aman-aman aja. Nah, saat terjadi letusan demonstrasi hebat pada awal Desember, lalu lintas e-mail antar saya dan teman-teman meningkat karena kekhawatiran kerusuhan. Ada yang sampai dilarang orang tuanya malah kalau mau pergi ke Thailand, yang akhirnya setelah dijelaskan bahwa kami hendak pergi keluar Bangkok barulah diizinkan. Beberapa hari kemudian semuanya terlihat aman sampai beberapa hari menjelang keberangkatan, baik pihak kedutaan Indonesia maupun Malaysia mengeluarkan peringatan bagi warga negara masing-masing untuk meninjau kunjungan ke Bangkok. Well....ini cukup bikin cemas....


MBK pra-demo


Pada hari-H , sepertinya tidak terdengar lagi akan ada demo di Bangkok. Saya pun berangkat dengan do'a semoga baik-baik saja (mirip lagu Wali...) di Thailand dan tidak bertemu demonstrasi. Saya juga dapat info dari teman yang orang Thailand kalau mereka berkumpul di tempat tertentu dan bukan menyeluruh seantero Bangkok. Maka, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami tiba di Bangkok tengah malam pada suhu 15 derajat C dan semuanya terlihat normal. 

Nah...setelah kita bertualang 5 hari keliling Lopburi, Kanchanaburi, barulah saya dikasi kabar kalau akan ada demo besar-besaran pada 22 Desember 2013, tepat hari Minggu, tepat di depan MBK, tepat di tempat yang akan saya kunjungi (banyak banget "tepat"nya...). Pihak hostel bahkan sudah kasi pemberitahuan menghindari rute-rute jalan yang akan diblokir pendemo. Mengingat dan menimbang tidak ada acara lain di hari itu, maka niatan ke MBK tetap harus (dan akhirnya beberapa teman beli baju dan suvenir di sini...) dilaksanakan. Jam 9 kita bergerak dari MRT Queen Sirikit Convention Center, mau ke stasiun BTS Chit Lom, soalnya saya mau tukar duit dulu dan money changer di stasiun Chit Lom kasi harga yang bagus. Nah...dari sini kita terus aja jalan kira-kira 1 km ke arah stasiun BTS National Stadium dan ketemulah si MBK. Waktu itu keadaan masih tenang.

Manusia di depan MBK

Setelah kita keliling mall, makan dan kemudian keluar jam 13....jeng..jeng..jeng...barulah kerumunan orang berdemo terlihat mulai di persimpangan MBK sampai naik ke atas stasiun BTS. Kita baru paham mengapa banyak orang pakai baju merah muda dan pakai aksesoris bendera Thailand di stasiun Chit Lom tadi...ternyata mereka mau demo! Kita? Yah....sebagai turis, kita justru malah foto-foto kejadian di sini. Kapan lagi bisa liburan di tengah demo begini, ya nggak? :D

Bagaimana suasanya? OMG...Ribuuttt dan biissiinng...setiap kali orator berhenti berorasi, setiap orang tepuk tangan sambil niup peluit..dan bayangkan itu dilakukan ribuan orang! Telinga jadi budeg dan tuli sesaat, bahkan kayaknya gendang telinga menebal gara-gara dengar peluit demonstran. Jalan aja di stasiun BTS susah...udah kayak pengantin sunat keinjek paku....walaupun tidak ada dorong-dorongan, tapi berjalanan di tengah kerumunan jelas susah dan keikut arus manusia. Kita mau turun ke jalan aja sampai 30 menit! Luar biasa...

Sampai ke Staisun BTS demonya


Yang absurd, peserta demo justru malah banyak yang foto-foto selfie gak jelas gaya anak alay (well...alay juga gak cuma di Indonesia...) dan banyak penjual jus dan peluit berseliweran. Kami bahkan sempat beli jus 15 baht dan foto-foto keramaian demo di jalan dari MBK ke stasiun BTS Siam. Teman-teman, sis Zilla dkk, yang jadinya takut, justru malah jadi tertarik karena demo ini...hahaha....

Parade demo sambil bawa bendera Thailand


Setelah selama 1 jam lebih "berwisata" di tengah demo, akhirnya kita lanjut ke Chatuchak Market yang terkenal. Nah...apakah 'berwisata" di tengah demo menyenangkan? Jawaban saya : Sangat menantang dan menyenangkan! Asal selama demonya aman-aman aja...kalau jadi kerusuhan, ya mending gak usah diliat, itu nyari gara-gara namanya...:p

Saturday 1 February 2014

Selamat Datang di Kamboja !

Setelah melewati "Friendship Bridge" yang baunya na'udzubillah sesuatu banget cetar membahana badai, secara de facto saya telah tiba di Kamboja. Tapi, secara de jure jelas aja belum karena paspor saya masih bersih dari cap paspor Kamboja. Melewati gerbang perbatasan yang mirip replika Angkor Wat, melewati deretan kasino megah dan mewah yang kontras dengan pedagang kaki lima yang berjualan di depannya, dari sisi Thailand saya harus menyeberang jalan ke sisi kanan karena di sini pakai aturan LHD alias left-hand drive. Secara jujur, inilah pertama kali ke negara dengan LHD, jadi agak bingung juga, hehe...

Ini bahasa Inggrisnya benar gak ya?


Sampai di "kantor" imigrasi Kamboja yang gak mirip kantor imigrasi (lebih mirip loket bus), di depan pintu saya disodori Immigration Card Kamboja yang bikin saya ketawa. Gimana nggak, kartu imigrasinya dari kertas biasa kayak kertas buku dibanding kartu imigrasi negara ASEAN lain yang tebal dan serius. Dari melihat kantor imigrasi dan kantor imigrasinya, tanpa bermaksud merendahkan, saya sudah terbayang ekspektasi saya soal negara ini. Masuk ke dalam, you know antriannya udah panjaannnggg sampai 1 meter di depan pintu masuk. Loket cuma ada 3, dan sudah pasti lamaaaa sekali menunggunya. Btw, kalau ada yang pernah ke perbatasan Poipet ini, pasti tau ada pohon di dalam kantor imigrasinya. Waktu saya ke sana, ternyata pohonnya sudah di tebang dan di atas tunggul pohon yang tersisa dipasang altar. Ini mungkin pohon keramat kali....

Menjelang hampir sampai, saya dengar percakapan antrian sebelah yang mau share bus ke Siem Reap. Lah, saya ikutan nimbrung aja biar sekalian ada teman cerita dan mana tau dapat murah. Saya cerita dengan dua orang Belanda dan dua orang Filipina, bersepakat dengan saya untuk naik taksi dari terminal. Tak lama kemudian, saya maju buat diperiksa paspor. Disuruh menatap sensor wajah (FYI, di Singapura dan Malaysia pakai sidik jari, di Thailand dan Kamboja pakai sensor wajah) dan kartu (kertas) imigrasi dirobek, sebelah arrival disimpan dan yang departure dihekter (atau dijekrek?) di halaman paspor. Well, ini yang saya nggak suka, soalnya halaman paspor jadi bolong dan estetikanya berkurang (halah...) , selain karena membuat halaman paspor jadi cacat (mode ; drama...).

Keluar loket imigrasi, secara de jure saya sudah resmi masuk Kamboja! Lantas saya dan kenalan tadi digiring (emangnya kambing...) ke bus yang akan membawa kita ke Terminal Poipet. Bus nya gratis, dan saya terkesan dengan kondektur dan supir yang bahasa Inggrisnya jauh lebih baik dari orang Thailand. 15 menit kemudian sampailah kita di terminal yang luas tapi kosong melompong, dan menuju ke loket. Ternyata, gak ada lagi taksi ke sana dan yang tersedia cuma van seharga USD10 sampai ke Siem Reap. Mau lebih murah bisa naik bus, tapi tetap nunggu sampai penuh yang berharga USD9. Yah, 1 dolar doang mendingan pilih yang paling cepat. Janjinya sih, kita diantar sampai penginapan, kenyataannya kemudian, kita malah turun di pool bus dan mesti naik tuk-tuk lagi ke penginapan...*sigh*.

Terminal bus di Poipet yang sepi

Nah, di terminal Poipet saya baru sadar duit saya ternyata dicopet sebanyak USD50 dan THB100...:( Untungnya, (masih bisa bilang untung...dasar orang Indonesia) duit yang ada tinggal THB 200 dan USD55 dan anehnya, tidak semua duit diambil. Ini mungkin pencurinya paham kalau saya bakalan gak pulang kalau semua duit diambil...Dan dengan kejadian ini, semangat saya langsung drop selama perjalanan ke Siem Reap. Ditambah lagi pemandangan yang datar-datar aja, sawah-sawah kering dan beberapa rumah penduduk, membuat nuansa liburan berkurang. Tapi, ya sudah...saya cuma bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Sampai di pool bus 3 jam kemudian, langsung deh kita dikerubungi supir tuk-tuk buat ngantar. Saya dan orang Belanda tadi sepakat sewa 1 tuk-tuk, walaupun kita beda penginapan. Janji di awal , kita bayar USD5 ke supir. Waktu saya mau bayar pakai USD10, si supir bilang gak ada duit kembalian dan saya bilang saya punya THB100. Lah, dia terima aja...padahal THB 100 cuma USD3...ckckck...

Jalanan di Siem Reap


Check in, kemudian saya bersih-bersih...Fiuuhh...dengan segala kejadian yang terjadi, akhirnya sampai juga di Siem Reap, Kamboja...Selamat buat diri saya sendiri...! hehe....